PART 2

969 116 5
                                    

A Story of Marriage (2)

***

"Mba. Kok masih duduk, sih. Buruan mandi!" Rani mendelikkan mata ke arahku. Di tangannya selembar gamis berwarna biru laut menjuntai ke lantai.

"Serius pakai baju itu?" Aku mengerutkan kening. Kenapa harus baju itu, sih? Aku merasa tidak cocok memakai baju yang dipenuhi dengan renda browkat itu. Sehari-hari aku hanya mengenakan baju terusan polos dengan warna-warna kalem. Meskipun sedang bekerja, hampir bisa dihitung berapa kali aku mengenakan baju mewah selama satu bulan. Kata orang 'duit banyak, tapi penampilan pas-pasan.' Sama sekali aku tidak peduli. Kenyamanan adalah hal utama, bukan?

"Ih, Kak Hanin bawel, deh!" Rani meletakkan baju panjang tersebut di atas ranjang dan kembali mendorongku ke  kamar mandi. Mau tak mau, kuikuti arahan adikku itu. Aku tahu jika Rani berusaha untuk melakukan yang terbaik untukku.

"Kak, jangan lama, ya. Satu jam lagi aku akan ke sini." Dia berteriak saat pintu kamar mandi telah kututup. Tak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. Tidak lama lagi waktu magrib tiba. Dan setelah magrib, ah! Mengingatnya saja membuat kepalaku cenat-cenut. Siapakan laki-laki yang akan datang melamar?

Setelah selesai membersihkan diri, aku bergegas bersiap-siap dengan mukena serta sajadah. Adzan magrib sayup-sayup terdengar dari corong toa menasah menembus dinding kamarku. Sepuluh menit berlalu, tak panjang doku selesai salat tadi. Hanya meminta kepada Tuhan agar segera mendekatkan seorang lelaki baik padaku.

"Kak Hanin!"

Suara Rani beserta gedoran di pintu kamar kembali terdengar. Kali ini bukan hanya suara Rani. Ibu serta Kak Santi juga ikut memanggil dari luar. Amboi! Mereka sangat perhatian sekaligus sedikit menyebalkan. Bukan ibu, melainkan Kak Santi dan Rani. Belum juga para jamaah selesai berdzikir di masjid, sudah sibuk gedor-gedor.

"Iya. Sabar! Baru juga siap salat."

"Buruan, Hanin. Mereka sudah mau tiba!" Kak Santi terdengar tak sabar.

Siapa, sih, calonnya? Salat Magrib di mana tadi? Kok sudah mau tiba?

Kunci pintu kamar kuputar pelan. Pintu terbuka dan para wanita itu menerobos masuk. Hanya ada Kak Santi dan Rani. Sepertinya ibu kembali menyelesaikan pekerjaannya setelah memastikanku tadi. Sudah biasa kondisi seperti ini. Jika ada yang datang ingin melamar, maka ibu adalah orang yang paling sibuk di rumah. Padahal untuk makanan dan minuman sudah dipesan semua. Ibu tinggal terima beres, akan tetapi ada saja yang dikerjakan agar semua terlihat sempurna, begitulah alasannya.

"Ibu harus menyambut tamu ibu dengan penuh kehormatan," ujarnya sekali waktu.

Aku hanya kasihan melihat ekspresi ibu yang kelelahan dan kecewa karena penolakan demi penolakan yang kulakukan pada setiap calon pelamar. Kenapa begitu? Ya, karena rasa klik tadi belum ada.

"Belum siap juga? Ya ampun, Hanin. Kamu itu kebangetan banget. Kasian ibu, hampir setiap bulan mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin. Tapi kamunya seperti ogah-ogahan."

Kak Santi kalau bicara memang suka menggigit. Dia selalu melihat sesuatu dari satu sudut pandang. Memaksa kehendak dan harus selalu didengar. Dia pikir aku tidak mau menikah apa? Dia pikir aku setiap saat santai dan membebankan semuanya pada ibu? Apa dia bisa sekali saja membaca kondisi hatiku yang sedang tidak baik-baik saja? Menyandang gelar perawan tua. Kerap kali dijadikan bahan lelucon di ruangan dokter setiap kali kami berkumpul. Bahkan para dokter laki-laki yang sudah memiliki istri kadang tak segan melempar canda ingin menjadikanku yang kedua. Cih!

"Iya, Kak. Ini juga mau siap-siap."

"Siap-siap dari tahun kemarin sampai tahun depan ngga selesai-selesai."

Aku mencebik ke arah Rani. Si bungsu itu malah tersenyum melihatku  diomeli oleh Kak Santi. Ini gara-gara dia juga, sih. Baru dua puluh dua tahun sudah mau nikah, akibatnya aku dipaksa untuk sesegera mungkin menemukan lelaki yang cocok untuk dijadikan suami.

"Sini kakak polesin wajahnya. Jangan natural selalu. Sesekali itu bibir perlu diwarnai biar cerah. Biar segar!"

"Nggak, nggak! Aku saja, Kak. Aku bisa sendiri. Aku sudah dewasa, lho!" Sekuat tenaga aku memalingkan wajah. Namun, Kak Sinta menarik daguku kuat. Sepertinya aku ingin dijadikan bahan percobaan untuk makeup noraknya.

"Kak! Apa-apaan, sih?"

Aku berdiri dari bangku depan meja rias. Kukantunkan istighfar dalam hati agar tak emosi menghadapi kelakuan Kak Sinta.

"Biarin aja Kak Hanin sendiri, Kak. Wajah Kak Hanin lebih cocok pake make up minimalis daripada yang norak."

Ah, akhirnya Rani membantuku. Dan tentu saja komentar si bungsu itu menolongku dari serangan Kak Santi.

"Oke! Tapi cepat. Mereka sudah mau tiba."

"Ya. Aku janji cepat. Dengan syarat kakak bantu ibu dulu gih!" Secara halus aku mengusirnya agar keluar dari kamarku. Bisa ambyar mood-ku jika dia tak henti memaksakan untuk berpenampilan sesuai dengan ekspektasinya.

Wanita berparas cantik dengan lipstik merekah itu akhirnya memilih keluar. Baru bisa aku bernapas lega. Ya ampun, baru juga mencari calon suami sudah serumit ini. Bagaimana jika sudah menikah?

Tinggallah Rani di kamar. Aku mengenakan terusan berwarna hijau lumut. Menggantikan pilihan Rani tadi. Mungkin agar semuanya cepat dan aman, Rani tak lagi mengajukan keberatan karena ku tidak memakai baju pilihannya. Malahan gadis itu membantuku memilihkan jilbab segi empat yang cocok untuk gamis yang akan kukenakan.

"Ini saja, Kak. Warna mocca lebih cocok daripada kakak pakai jilbab warna ijo lumut juga. Nanti mereka pikir kakak wanita lumutan karena ngga laku-laku." Dia terbahak dengan candaannya sendiri. Sama sekali tak lucu pikirku. Melihatku tak merespon candaan yang ia lontarkan, Rani pun terdiam seketika dan meletakkan jilbab pilihannya di sampingku.

Tidak membutuhkan waktu lama, semuanya hampir selesai. Aku memilih lipstik berwarna nude sebagai sentuhan terrakhir di bibir agar tak terlihat pucat. Sekali lagi kupatutkan diri di depan cermin. Tidak norak dan semua terlihat natural. Rani yang sejak tadi berdiri di belakangku dan ikut terpantul dari kaca rias terlihat tersenyum. ia mengacungkan dua jempol dan terlihat puas.

"Cantik!" seru gadis dengan postur tubuh tinggi itu.

"Tapi ngga laku-laku!" seruku mencibirnya.

Panggilan dari Kak Sinta kembali membahana. Tak memerlukan pengeras suara, suaranya sudah menggema ke seisi ruangan.

"Aduh! Kamu mau acara lamaran, Hanin. Bukan ke pasar pagi. Kok cuma segitu saja penampilannya? Apa ngga bisa dibikin wah, gitu?"

Tuh, kan! Dugaanku tak pernah meleset. Meski Rani telah memuji, akan tetapi tetap salah di mata Kak Santi. Tanpa menggubris, aku berlalu mencari ibu ke arah dapur. Benar saja, wanita itu masih berkutat dengan hidangan serta cangkir-cangkir minuman.

"Ya ampun, Bu. Tugas ibu bukan di sini. Kan ada Mba Ratmi yang bisa mengurus semuanya. Ibu cukup duduk manis di depan dan temani aku nanti." Aku menggandeng tangan ibu. Ingin menangis rasanya saat bola mata kami beradu pandang. Belum cukup aku memberikan kebahagiaan padanya. Lelah ibu tak berbanding dengan pemberian dariku serta Kak Sinta selama ini. Wanita yang sejak kami kecil merawat kami dengan kedua tangannya. Menjadi janda setelah ayah pergi untuk selama-lama karena kecelakaan.

"Ibu senang melakukannya, Sayang. Ngga susah, kok." Begitu selalu jawabannya.

Tak kuhiraukan segala bentuk alasan yang ia lontarkan, tetap kutarik tangan itu untuk meninggalkan dapur. Setiba di dekat ruang tamu, kubenarkan letak jilbab ibu yang sedikit mereng. Kutatap wajah itu sepenuh hati. Guratan lelah terpancar jelas di setiap sudut matanya. Meski segaris senyuman terpahat di bibirnya, akan tetapi ibu tak bisa menipuku jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.

***

#karospublisher
#matchmakerseries
#madam
#rose
#madamrose
#makcomblang
#dating
#aplikasi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Story of MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang