D u a

1 0 0
                                    

Selamat membaca!

_____

Kelas dua belas telah dipulangkan, karena tidak ada lagi jadwal pelajaran. Hal tersebut membuat Radiva menggerutu. Seandainya dia tahu kejadiannya akan seperti ini, lebih baik tak hadir.

[Assalamu'alaikum, Kak Ren. Bisa jemput, enggak? Aku udah pulang.]

Satu menit terkirim. Radiva sudah mendapat balasan. On time juga sahabatnya itu, pikirnya.
Namun, di sisi lain, dia merasa tidak enak hati menyuruh orang yang lebih tua darinya.

[Wa'alaikumussalam, iya. Kakak berangkat.]

Usai mengirim balasan, Rendra segera bersiap. Yang memang saat ini sedang santai-santai saja. Setelah berpamitan kepada sang ibu, ia pun melajukan motor matic hitamnya.

Sepuluh menit telah berlalu. Radiva sedikit merasa bosan. Dia membuka HP-nya dan memainkan game guna mengalihkan kejenuhan yang menghinggapi.

Gadis itu terlonjak kaget kala mendengar suara klakson. Hampir saja HP di genggaman tangan jatuh mengenaskan. Mengangkat kepala dan terlihat seseorang yang ditunggu telah tiba.

Terlalu fokus bermain, sampai tidak menyadari keadaan sekitar. Kalau dipikir-pikir hal tersebut tidaklah baik. Bagaimana jika ada yang berniat jahat padanya? Tidak! Radiva menggelengkan kepala pelan dengan mata terpejam.

Dia mendengar klakson untuk kedua kalinya, diiringi suara seseorang terdengar kesal. "Di, ayo!" ajak Rendra. Sejak tadi ia menunggu di motor, tetapi sahabatnya itu terlihat sedang melamun. Ck!

Radiva bangkit berdiri dan mendekati kakaknya. Kemudian dia menampilkan deretan giginya. "Maaf, Kak."

"Tumben pulang cepat?" tanya Rendra ketika telah menjalankan motor. Seperti biasa, selalu ada tas punggung di antara keduanya.

Gadis SMA itu sedikit memajukan wajahnya, untuk mendekati telinga sebelah kanan seseorang di depannya. "Udah enggak belajar lagi. Kelas dua belas tinggal nunggu kelulusan. Jadi, beberapa hari ke depan kami libur," jelasnya dengan suara sedikit dikeraskan.

"Oh."

What? Just 'oh', ingin sekali Radiva menenggelamkan  kakak merangkap jadi sahabatnya di kolam kecebong. Biar tahu rasa. Terus, timbul-tenggelam. Namun, sekesal-kesalnya dia, sulit baginya untuk membenci Rendra. Biar bagaimanapun, sosok itu telah berhasil memasuki ruang hatinya.

Radiva mencebikkan bibirnya. Kalau sudah dingin dari sananya sulit untuk bersikap hangat. Dasar cowok beraura kulkas, tidak peka, kalau bicara irit kata.

Pada satu sisi, Rendra yang melihat ekspresi gadis di belakangnya dari kaca spion. Menarik kedua sudut bibirnya seraya menggeleng pelan. Tak terasa mereka telah sampai di depan rumah Radiva.

"Jangan lupa senyum," ujar Rendra kala Radiva turun dari motor dengan raut wajah kurang mengenakkan.

Hanya dibalas dengan gumaman.

***
Hari ini Radiva libur. Sang emak memintanya untuk menyusul ke kios buah, yang letaknya di pinggir jalan besar. Gadis itu menyetujui, tentunya di awali dengan gerutuan. Tiada hari tanpa gumaman tidak jelas dalam hidupnya.

Usai membereskan rumah dan bersiap, Radiva pun berangkat. Hari ini dia mengenakan kerudung berwarna abu-abu, senada dengan rok lipat-lipatnya. Berjalan kaki menuju tempat berjualan, yang memang jaraknya cukup dekat.

Ketika sampai, Radiva mengucapkan salam, lalu mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya. Saat hendak mendudukkan diri di kursi. Sang emak menyuruhnya untuk membereskan lantai, karena terdapat sampah plastik dan ranting-ranting.

Mengambil sapu lidi, mengangkat sedikit rok dan berjongkok. Radiva mulai mengumpulkan sampau-sampah yang merusak keindahan tempat emaknya berjualan. Sebelum memungut, gadis itu melipat lengan bajunya, agar tidak kotor.

"Diva, bantuin emak!"

Mendengar demikian. Si anak menghentakkan kaki pelan. Kemudian berjalan mendekati ibu negara. Gawat, kalau sampai tidak segera dilaksanakan. Bisa-bisa dia akan mendengarkan omelan panjang bak kereta api hingga telinganya memanas.

"Iya," sahut Radiva yang balik dari mencuci tangan sehabis menyapu. Pasalnya, dia pernah membaca slogan bertuliskan 'bersih itu sehat'.

Radiva tidak menganut istilah 'kebersihan sebagian daripada iman'. Sebab, berdasarkan ceramah yang disampaikan oleh salah satu ustaz. Menyatakan, bahwa hadis itu palsu. Sama halnya dengan hadis tentang, 'makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang'.

"Coba kamu masukin buah salaknya ke kantong kresek. Terus timbang, jangan sampai salah lihat angkanya," perintah sang emak tanpa menoleh ke arah Radiva, sibuk melayani pembeli lain.

"Kalau kurang timbangan bisa-bisa kita makan uang haram," lanjut wanita itu.

"Iya, Mak." Gadis itu berujar malas.

Radiva menyerahkan kresek merah tersebut kepada si pembeli. Setelah menerima uang dan memberikan kembalian, dia menghela napas lega. Meniup kedua telapak tangannya seolah-olah menghilangkan kuman.

Akhirnya, dia bisa duduk juga. Mengeluarkan HP yang disimpannya di saku rok. Kemudian jemari itu menguasai layar benda tersebut. Mengangkat kaki kanan dan menyilangkan di kaki kiri. Tampak santai.

Sementara emaknya, yakni wanita berkerudung hitam itu. Terlihat sedang membereskan keranjang buah yang telah kosong. Kemudian merapikan posisi buah-buah agar menarik hati calon pembeli.

Hari sudah sore. Radiva dan emaknya mulai membereskan keranjang-keranjang buah. Namun, saat mereka tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seseorang pengendara motor berhenti, melepas helm-nya dan berjalan mendekati kedua peremouan berbeda usia itu.

"Assalamu'alaikum, Mak," sapa orang itu ramah seraya mencium tangan emak Radiva.

Radiva masih setia menunduk, dengan atau tanpa melihat, dia pun tahu seseorang itu. Siapa lagi kalau bukan anak kesayangan emaknya. Yang di mana, dapat membuat gadis itu lancar mengeluarkan gerutuan. Pasalnya, jika keduanya bertemu, dia dilupakan.

Sungguh menyedihkan!

Mengelus bahu seseorang itu. "Wa'alaikumussalam, Nak Ren."

Radiva masih diam. Sibuk dengan kegiatan sendiri, seolah-olah dua orang yang ada di sampingnya tidaklah nyata. Berlalu masuk ke kios untuk menyimpan keranjang buah.

"Di, kamu kok diam aja. Kakak datang, loh!" sindir Rendra seraya mendekati sahabatnya itu.

"Ngambeklah itu, si Diva," timpal wanita paruh baya itu dengan nada meledek.

Gadis itu belum juga bersuara.

"Di." Pemuda itu menarik ujung kaus lengan panjang yang dikenakan Radiva.

Otomatis pergerakan gadis itu terhenti. Menatap Rendra dengan ekspresi datar. Menggerakkan lengan kirinya yang menjadi korban sang kakak cukup kasar. Sehingga, dua jari mengapit bajunya pun terlepas.

Beres. Semuanya tersimpan rapi di dalam kios yang telab tergembok. Rendra akan mengantar Radiva pulang, sesuai perkataan pemuda itu. Bukan sebuah penawaran, melainkan perintah.

Saat ini, keduanya tengah berada di motor yang dikendalikan Rendra dengan laju sedang. Sementara emak Radiva, telah pulang duluan dengan mengendarai motor sendiri.

Rendra melirik sahabatnya dari kaca spion. Gadis itu masih setia dengan puasa berbicara. Ketika ditanya, dibalas gelengan pelan. Saat ditatap lekat, malah memalingkan. Membingungkan, rasa itulah yang melandanya saat ini.

-Bersambung

~Bai

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pangeran HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang