Pertama

42 9 2
                                    

Senin pertama bulan Januari.

Hari ini hujan sama seperti kemarin dan hari hari sebelumnya. Yang membedakan hanya kendaraan yang sedang saya tumpangi, alih-alih mengendarai mobil kesayangan, saya malah terjebak dalam bus yang penuh sesak dengan manusia. Terima kasih kepada siapapun yang telah menabur paku di jalan dan mengenai ban mobil saya.

Sekarang bukan saatnya menggerutu lagi, lebih banyak hal yang sepatutnya saya pusingkan, rapat kantor yang satu jam lagi mulai misalnya. Dan sialnya saya masih terjebak dalam bus yang sama dan jarak dari sini ke tempat kerja saya masih lumayan jauh.

Ponsel tak pernah lepas dari genggaman, sedangkan sebelah tangan tengah memegang tali di langit-langit bus. Sesekali lubang kecil menyebabkan goyangan parah dalam bus ini apalagi ditambah dengan muatan bus yang melebihi kapasitas. Hiruk pikuk terhiraukan, saya fokus pada kabar dari rekan yang sudah di kantor.

"Mas, hati-hati. Ada yang mau nyopet, tuh."

Saya menoleh pada empunya suara yang sedang menunjuk seorang di belakang saya.

"Mbak jangan fitnah, dong!"

"Lah, bapak ngapain rogoh rogoh kantong Mas itu? Kalo bukan copet artinya bapak mau melakukan pelecehan."

Bapak tertuduh menggeram, saya rasa ia tak terima difitnah oleh perempuan ini. Sebelum ada pertumpahan darah atau air mata, saya angkat bicara setelah memindahkan dompet saya ke saku jas dalam.

"Gapapa, mbak. Saya tau bapak ini mau nyopet, kerasa."

Ucapan saya membuat bapak itu mengalihkan tatapan pada saya setajam yang ia bisa, saya rasa. Sedangkan si perempuan tersenyum puas lalu turun di halte tempat bus baru saja berhenti sembari membawa kerajang penuh belanjaan. Si bapak tertuduh ikut turun.

Entah mengapa atensi saya langsung mengarah pada dua manusia yang bertolak belakang tersebut. Tak dinyana, si bapak tertuduh mencegat perempuan yang menolong saya tadi. Selagi bus belum jalan, saya reflek ikut turun. Bagusnya hujan sudah mereda menyisakan rintik kecil yang jarang.

"Bapak apaan, sih?!" Perempuan itu terlihat tak nyaman saat lawannya mencekal tangannya yang membawa keranjang.

"Gara-gara mbak saya gagal dapat mangsa!"

Si perempuan memejamkan mata, saya rasa ia takut. Bodohnya saya masih berdiri diam hanya memperhatikan sebelum ada insiden tangan yang melayang mengenai si perempuan, sudah lebih dulu saya cekal.

"Lepasin dia atau saya lapor polisi."

*****

"Rumah mbak di mana?"

Perempuan itu menunjuk rumah kecil dekat kami dengan telunjuknya yang bebas. Sebelah tangannya memegangi perutnya yang besar. Perempuan ini sedang hamil, makanya saya membantu dia.

"Depan situ, Mas. Berat, ya? Gakpapa saya bawa sendiri aja." Katanya lagi setelah menolak berkali-kali bantuan saya yang hendak membawakan keranjang miliknya. Tangannya yang hendak mengambil miliknya kembali menggantung di udara setelah saya jauhkan darinya.

"Saya mau bantu." Ucap saya penuh penekanan. Dia mengerjap lalu mengangguk patuh. Ya, baguslah. 

Kami melewati jalanan becek bekas hujan tadi menyebabkan sepatu saya kotor, meskipun saya hiraukan. Masih bisa dibersihkan nanti, pikir saya.

Tak lama dari itu kami berhenti di depan rumahnya. Rumah semi permanen minimalis bercat kuning yang mulai mengelupas, dengan halaman luas yang ditumbuhi banyak bunga matahari. Setelah diperhatikan lagi, depan rumah ini ada semacam lapak kecil.

"Ini lapak apa?" Sial, jiwa keingintahuan saya berontak keluar.

Perempuan itu urung membuka pintu rumahnya, menoleh sekilas pada saya yang berdiri tak jauh dari kursi bambu yang terlihat tua sekali.

"Saya jualan soto sama gorengan," katanya lalu meraih keranjang miliknya dari tangan saya.

"Mas nya duduk sana aja. Saya masuk dulu."

Saya menurut. Lekas menjatuhkan diri ke kursi dengan hati-hati. Takut bila kursinya roboh.

"Kursinya kuat, kok, Mas." Katanya sambil menahan tawa, setelahnya dia baru masuk diiringi kekehan.

Saya menunduk malu. Kemudian duduk dengan tenang setelah mendapat konfirmasi kemanan, atensi mengitar memperhatikan lingkungan sekitar rumah milik perempuan itu. Baru saya sadari, di pojok halaman ada bunga mawar putih, letaknya persis di bawah pohon jambu air besar yang mulai berbunga. Di depan rumahnya persis ada sebuah rumah yang tampak tak jauh berbeda dengan rumah yang sedang saja pijaki, bedanya hanya halaman sempit saja.

"SAYANGGG, AKU PULANG!"

Suara teriakan melengking itu mengagetkan saya yang juga langsung menatap pelakunya, seorang perempuan dengan penampilan yang bisa dibilang acak-acakan bagi saya. 

"Bacot lo, ya, Andini."

Suara lain membuat saya menoleh pada si empunya, oh ternyata perempuan itu dengan membawa satu gelas kopi di tangan.

"Siapa, nih? Lo bawa cowok lagi? Wah, parah! Lo mengkhianaㅡ"

"Bacot. Masuk sana, gua buat nasi goreng."

Perempuan satunya tersenyum lebar lalu memeluk singkat si perempuan hamil yang langsung bergidik meminta dilepaskan.

Kemudian saya tersadar. Jika perempuan ini dan perempuan lain yang dipanggil Andini punya hubungan khusus.

"Ini kopinya, Mas. Maaf cuma bisa kasih itu."

Saya mengangguk, "Iya gakpaㅡ"

Suara ponsel di saku jas mengurungkan saya meneruskan ucapan, lekas menerima panggilan telpon tersebut sebelum suaranya semakin bergaung.

"Lo di mana?"

"Salam dulu, kali."

Suara dengusan Johnny membuat saya tersenyum kecil.

"Rapat, bego!"

Selanjutnya saya langsung pamit tampa menyentuh kopi yang dibuat perempuan itu dengan rasa tak enak dan gelisah yang bercokol di hati.

"MAS, MAKASIH YA!"

Saya yang telanjur terburu-buru hanya mengangguk kecil.

***

cr on pict

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr on pict.

Ganteng banget Mas Dewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Days Series ; Senin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang