Aku mulai memuntahkan seluruh isi sarapanku, pria sialan yang sayangnya adalah ayahku itu memaksa kami untuk sarapan bersama.
Katanya rindu kehangatan keluarga. Cih basi.
Lemas. Siapa bilang ini tidak melelahkan, ini sangat melelahkan. Napasku agak tersengal karena harus mengeluarkan seluruh makananku.
Rasa masam masih cukup tertinggal di mulutku. Aku mulai menyikat gigiku dan membersihkan tubuhku.
***
"Kamu Chessy?" Aku menoleh seorang pria berjalan menyejajari diriku yang tengah berjalan menuju kelas.
"Eh iya, Kak Angga 'kan?" balasku ramah kepada pria yang tengah gugup ini, sekilas aku menyukai dia, aroma musk yang menguar saat dia mendekat, membuat diriku terpesona.
Hanya sejenak tanpa berniat menyukai dirinya secara lebih.
"Kenal aku to?" tanyanya kaget bercampur senang, aku tersenyum sambil mengangguk.
"Kenal lah, 'kan kakak orang yang ditaksir Sonia pas orientasi kemarin, anggota BEM yang kece abis," pujiku sambil mengacungkan dua ibu jariku.
Angga tersenyum canggung sambil menggosok tengkuknya. "Gitu ya?" tanyanya.
Aku mengangguk antusias. "Kakak tapi keren abis sih, aku kagum banget sama kakak, aduh kayak lebay gitu ya aku?" Angga menggeleng.
"Enggak lah," ucapnya.
"Aku masuk kelas dulu ya, kak," pamitku lalu berbelok ke kiri.
"Hei, sini." Sonia menarikku untuk duduk di sebelahnya, aku hanya tersenyum singkat pada Sonia.
"Makasih udah siapin tempat," ucapku ramah sambil menata tasku agar terlihat rapi.
"Kamu pake parfum apa sih, wanginya enak banget, kayak bayi, jadi gemes." Aku hanya terdiam enggan menjawab sama sekali.
Dan beruntungnya aku karena Adira datang disaat yang tepat. "Rajin banget sih kalian, semangat mata kuliah pertama ya? Kata abang gue dosennya cakep." Aku hanya mengangkat bahu tanpa minat.
"Nanti diajak anak-anak makan bakso di depan, kalian ikut?" tanya Adira sambil memoles bibirnya dengan lip-gloss.
"Up to you," ucapku santai lalu kembali asyik memainkan gawaiku yang menampilkan beranda Instagram milikku.
"Kelas kelar jam berapa?" tanya Sonia.
Aku menoleh. "Kalo aku nanti jam dua selesai, gak tau Adira," jawabku sekilas sambil asyik memainkan Instagram.
Banyak komentar yang menarik perhatianku. Termasuk.
Aku menggeleng pelan, membalas komentar darinya sama saja membuka celah sakit hati yang sudah kututup rapat-rapat.
"Selamat pagi."
Klotak...
Handphone-ku terjatuh. Aku agak terkejut melihat dosenku yang baru saja datang.
Dia terlalu muda untuk bisa disebut dosen, jika dikira-kira mungkin usianya masih 26 tahun.
Cukup mengejutkan juga karena dia dipertemukan denganku lagi dengan cara seperti ini.
"Perkenalkan nama saya Danu Prawiro, saya dosen pengampu mata kuliah Teori Ilmu Komunikasi, saya harap kita dapat bekerja sama," ucapnya santai namun bernada tegas.
Prawiro.
Sebuah keluarga yang cukup berpengaruh, bisnis properti yang mereka geluti cukup membuat kekayaan mereka berlimpah. Menduduki posisi ke-11 sebagai orang terkaya di Indonesia. Membuat mereka cukup diperhitungkan.
Tapi sangat mengejutkan. Danu Prawiro yang digadang-gadang akan menjadi pewaris Prawiro Company memilih mengabdikan diri sebagai dosen.
"Kamu?" Aku terkejut dari lamunan. Pak Danu menatap mataku intens, dari tatapannya aku tahu dia tidak suka.
"Saya harap, ini terakhir kalinya kamu melamun," ucapnya santai lalu kembali berceloteh ria.
Aku sendiri hanya diam sambil mendengarkan Danu Prawiro berbicara, rasanya mendengar nama keluarganya saja sudah membuat diriku muak.
***
"Dari tadi kayaknya kamu banyak diem." Aku mengalihkan pandangan pada Adira, aku hanya menggeleng sambil mengulas senyum.
"Kenapa? Ada yang ganggu?" tanya Fandito, aku juga menggeleng melihat Danu Prawiro tadi membuat diriku enggan melakukan apapun.
Bahkan untuk menyantap bakso hangat yang baru saja tiba di hadapanku saja aku tidak minat. Aku menghela napas, mengingat kejadian itu membuat diriku enggan melakukan apapun.
"Aku mau balik, mata kuliahku selesai, kalian lanjut aja, ini yang mau makan baksoku," ucapku sambil berdiri tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Resha. Aku mengangkat bahu lalu beranjak dari warung tersebut menuju motorku yang masih terparkir di parkiran kampus.
Aku lemas.
Semua ingatan buruk itu terjadi lagi.
"Lody?" Aku berhenti seketika, suara berat itu menginterupsi diriku.
Langkahnya ringan seringan angin, senyum juga mengembang di wajahnya yang kini terlihat lebih dewasa.
"Apa kabar?" tanyanya, mata teduhnya menatapku intens.
"B-baik mas, Mas Danu apa kabar?" tanyaku sambil terus menatap matanya.
"Same as like you seem now," jawabnya santai sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana.
"Pulang sendiri?" Aku hanya mengangguk.
"I'm always waiting you, kamu hilang gitu aja, padahal aku pengen ngomong sama kamu, tapi kamu banyak berubah," ucapnya sambil mengunci helmku dan merapikan anak rambutku.
"Be careful," tutupnya lalu pergi meninggalkan diriku yang masih terbengong.
***
Aku terdiam menatap jalanan kompleks rumahku yang cukup tenang. Aku memikirkan hal yang sudah aku tutup lama.
Kenapa serpihan dari masa lalu itu kembali?
"Gue gak bakal mungkin suka sama lo, gue cuma manfaatin lo! Sadar diri,Lody!"
"Arrrggggghhhhhh!!!!!" Aku marah, benar-benar marah. Aku lemah.
Aku melempar semua barang yang ada di hadapanku. Menangis sejadi-jadinya, kenapa aku lemah? Aku benci menjadi lemah.
"Ches, lo kenapa?" Gavin menghampiriku yang sudah menarik-narik rambutku sendiri, menangis.
Kamarku sudah tidak berbentuk. Gavin meraihku yang terduduk di lantai, pelukannya menenangkan.
"Lo kenapa?" tanyanya sekali lagi.
"Aku benci sama orang bermarga Prawiro, benci!" ucapku sendu, rasanya lukaku memang masih berdarah.
"Maaf kita semua lalai waktu itu," balasnya lirih.
***
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold On
ChickLitChessy? Seluruh Kampus Pelita Harapan mengenal mahasiswa baru yang satu itu. Tentu saja, gadis cantik dengan perawakan sempurna. Membuat siapapun iri dengannya. Terutama otak cerdas menambah nilai plus. Namun di balik kesempurnaan itu tersimpan luka...