Chapter 1 - Memories

3 0 0
                                    

Hari ini sepertinya akan hujan, batinku saat mengintip suasana luar dari balik jendela kamar apartemenku pagi ini.

Aku membuka ponsel ketika ada suara getaran dan nampak beberapa notifikasi dari Instagram. Salah satu notifikasi itu berasal dari temanku yang menandadi akun instagramku dalam sebuah postingan foto.

Astaga, foto kapan ini. Kenapa Lexa masih menyimpannya? Tanpa sadar, aku tersenyum simpul sambil mengusap muka. Rindu dan sedih sedang kurasakan saat ini. Di foto itu nampak wajahku, Lexa, Deana, Anne dan Tobbie sedang tersenyum bahagia sambil saling merangkul di halaman belakang rumah Anne waktu merayakan pesta tahun baru 2010. Kami semua masih berumur 9 saat itu. Mereka adalah—bisa dikatakan— geng ku saat sekolah dasar sampai sekolah menengah. Hampir setiap waktu istirahat tiba, kami selalu berkumpul di depan kelasku untuk pergi makan siang bersama. Tak pernah satu hari pun kami terpisah –kecuali pulang sekolah– selama hampir 12 tahun. Terutama saat masa-masa sekolah menengah yang sangat memorable bagiku. Kami tengil sekali waktu itu. Yah, seperti kabur tengah malam dan pergi ke pantai, saling memberi jawaban saat ujian, mengerjai anak baru dan lain-lain dan sebagainya.

Sekilas kenangan itu muncul hingga membuatku terpaku memandang foto itu beberapa saat. Aku langsung memberi like dan hendak berkomentar, "Sudah lama sekali, aku jadi rindu." Tapi tidak jadi.

Dugaanmu benar. Kami tidak lagi bertemu sejak wisuda sekolah menengah atas 3 tahun lalu. Bukan karna kami memiliki jalan masing-masing dan pindah keluar kota untuk berkuliah. Aku tidak pernah bertemu kawan satu gengku ini lagi karena mereka hilang saat pesta kelulusan malam itu. Semua, kecuali Lexa.

Ah sial, malam mengerikan itu.

Pesta kelulusan malam itu sulit keluar dari memori otakku. Deana, Anne dan Tobbie hilang setelah ditemukannya mayat Sam disebuah kamar lantai atas rumah Lexa. Diduga karna overdosis obat-obatan terlarang, katanya. Sam adalah teman kelasku pada mata pelajaran biologi. Aku jarang ngobrol dengannya dan hanya sekadar kenal. Begitpun dengan teman-temanku lainnya.

Lexa yang menjadi tuan rumah langsung shock berat karna ada mayat di rumahnya. Ditambah lagi berita hilangnya ketiga teman kami. Hal itu tentu saja menjadi pukulan berat bagiku dan Lexa. Kami berdua mencari mereka bertiga ke seluruh kota –tentu saja dengan bantuan polisi. Bahkan kami sampai masuk ke dalam hutan yang katanya berbahaya. Tapi kami tidak peduli dan terus mencari teman-temanku.

Namun, 3 bulan berlalu dan polisi menutup kasus ini. Lexa terduduk lemas mendengar kabar itu, dan mulai menangis. Aku yang berusaha tegar pun akhirnya ikut menangis di samping Lexa. Ternyata kami menyerah.

Selama 3 bulan pencarian, aku tetap harus mengurusi kuliah. Aku mendaftar di salah satu universitas di Boston dan diterima. Ternyata Lexa juga masuk di Universitas yang sama denganku tapi berbeda jurusan. Namun, kami jadi tidak sedekat dulu. Akhirnya kami membuat kesepakatan untuk tidak membahas semua yang terjadi pada malam kelulusan serta kasus hilangnya Dean, Anne, dan Tobbie.

Bagaimana dengan Sam? Aku tidak tahu. Setauku ia tiba-tiba mati mengenaskan karena memang overdosis obat terlarang. Aku yang saat itu sempat mengintip ke lokasi kejadian mendapati mulut Sam yang penuh busa, dan tak jauh dari tubuh Sam terdapat botol dan obat-obatan berwarna putih berceceran.

3 tahun berlalu dan inilah hidupku yang sekarang. Aku berkuliah dengan normal dan berusaha melupakan kejadian malam itu. Lexa dan aku pun hanya sekadar bertegur sapa jika bertemu tanpa sengaja. Bertemu untuk hangout pun mungkin hanya beberapa bulan sekali. Itu juga kalau tidak sibuk.

Setelah bernostalgia beberapa menit, aku tersadar dan kembali ke kenyataan, bersiap berangkat ke kampus.

Saat menuju parkiran, aku bertemu Grace –yang sedang menggendong kucing abu-abu kesayangannya– sedang berjalan ke arahku. Sebenarnya aku hendak putar balik dan mencari arah lain. Bukannya apa, jika aku menegur sapa Grace, aku yakin aku akan terlambat. Ia sangat ahli dalam memberi nasihat. Mungkin karna cucunya yang memutuskan untuk hidup sendiri setelah yakin ia cukup dewasa untuk itu, jadi ia butuh orang lain untuk dinasihati selain kucingnya saat ini.

Tapi jika sudah takdir, maka aku tidak bisa menghindari itu. Kami berpapasan dan aku menyapanya dengan ramah sambil mengelus Grey –nama kucing Grace– dengan perasaan ingin cepat-cepat pergi.

"Selamat pagi Grace," ujarku hangat.

"Ah, Dre. Pagi. Kau mau ke kampus?"

Aku meng-iya kan dengan cepat. Berharap ia paham dan mempersilakan ku pergi.

"Baiklah. Hati-hati di jalan." Ia menatapku dengan senyum khas nenek-nenek umur 70 tahun.

Aku terdiam sejenak dan tersadar bahwa Grace tidak akan memberikan ceramah kali ini. Aku mengangguk dan mengelus kucing abu-abu itu sekali lagi dan melengos pergi, tapi masih sempat melambaikan tangan pada Grace.

Baru beberapa langkah, Grace memanggil namaku. Aku mendegus pelan dan menoleh padanya.

"Ya, ada apa Grace?" tanyaku.

Grace maju beberapa langkah sampai agak dekat denganku dan berkata, "Aku tahu kau ingin segera pergi jika bertemu denganku yang sangat cerewet ini. Tapi dengarkan aku sebentar saja." Aku memasang raut wajah tidak enak dan berusaha mengatakan, "Apa? Aku tidak pernah berpikir begitu," sambil tersenyum kikuk.

Grace melanjutkan, "Tidak apa. Tapi, apapun yang terjadi hari ini, aku hanya ingin mengatakan jangan terlalu baik pada orang. Aku tau kau pria baik. Kau ditakdirkan seperti itu dan akan terus seperti itu. Tapi, kebaikanmu bisa saja menjadi malapetaka yang akan merubah jalan hidupmu. Pikirkan kebaikan yang kau lakukan akan berdampak apa bagi dirimu. Jangan egois dengan dirimu sendiri, Dre."

Kali ini aku mendengarkan Grace serius. Seakan-akan baru sekali ini aku diberi wejangan dari nya. Jujur saja aku sedikit kaget dengan nasihat nya kali ini. Lebih tepatnya agak menakutkan.

Selanjutnya Grace menepuk lenganku dan mengatakan bahwa ia baru saja membaca buku tentang Cara Mengatasi Ke-Egoisan Diri. Makanya ia bisa mengatakan hal semacam itu.

"Buku itu bagus. Aku baru saja kembali dari pos satpam untuk mengembalikan nya pada Pak Ron. Sudah, pergilah. Kau akan terlambat," ujarnya lalu melangkah pergi dengan tetap menampakkan senyum hangat khasnya. Aku membalas senyumnya dengan dahi berkerut.

Namun aku masih diam ditempat. Sedetik kemudian aku sadar bahwa aku terlalu serius memikirkan perkataan Grace dan jadi merasa konyol. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan balik badan menuju sepedaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOGGING INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang