Bagian 2

18 2 0
                                    

Author POV

"Ada yang lihat Rere?"

Sekelas kompak menggelengkan kepala masing-masing membuat seseorang yang bertanya itu, Dikta, menghela napasnya lelah.

Hanin yang baru saja memasuki kelas langsung bertanya, "Nyari Rere ya, Kak? Tadi di perpustakaan sih,"

Dikta mengangguk-angguk, "Makasih ya,"

"Eh, Kak!" Panggil Hanin sebelum pria itu melangkahkan kakinya menyusul Rere.

Dikta menaikan kedua alisnya seolah bertanya ada apa?

"Kayaknya Rere lagi ada masalah deh, soalnya daritadi dia gila-gilaan banget baca novelnya, kayak lagi berusaha ngilangin beban pikirannya gitu sih, jangan dijutekin ya, Kak! Ngeri keserupan gue." Pesan Hanin di akhir.

Dikta mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri gadis manja itu.

Rere POV

Aku duduk di bangku paling ujung perpustakaan dengan kedua mata tertunduk seolah sedang fokus membaca buku, nyatanya aku dan pikiranku sedang berkelana entah kemana.

"Hei," Sapa Dikta, kemudian mendudukan dirinya di sebelahku.

Aku menatap pria itu sejenak, "Hai," kemudian kembali menatap buku di tangannya.

"Lagi mikirin apa?"

Aku menggeleng, "Emangnya keliatan lagi mikirin sesuatu?" Tanyaku.

Dikta tersenyum dan mengangguk, "Gue gak boleh tau?"

Aku menggeleng.

Pria itu tertawa kecil, "Disimpen sendirian gitu gak sakit, Re? Gak harus ke gue, lo bisa cerita ke siapa aja yang lo mau."

"Gue udah cerita kok,"

"Sama siapa?"

"Angin."

Dikta lagi-lagi hanya tersenyum, "Bahkan angin  lebih banyak tau tentang lo kayaknya ya dibanding pacar lo sendiri, Re. Kalo sama keluarga dan sahabat lo sih gue gak iri kalau mereka lebih banyak tau tentang lo, tapi masa gue kalah juga sama angin?"

Aku terbelalak kaget, pria itu berbicara sangat panjang, kemudian kembali fokus pada pembicaraan, "Siapa yang bilang kamu kalah sama angin?"

"Lo lebih milih cerita sama angin." Ujar pria itu dengan wajah kesal.

"Ta, kamu jealous sama angin?" Aku bertanya dengan tawa tertahan.

Dikta diam, masih dengan raut wajah yang sama, tidak mengiyakan dan tidak juga membantah.

Aku sudah tidak dapat lagi menahan tawaku, pria bernama Dikta itu, sudahkah cukup aneh dengan merasa iri pada angin?

"Ta, are you seriously?"

"Lo cuma cerita yang bahagia-bahagianya aja ke gue, pas bagian lo sedih, i know nothing. Bahkan lo lebih memilih benda mati untuk jadi teman cerita lo, kenapa nggak gue aja, Re?"

"Karena aku cuma mau berbagi kebahagiaan sama kamu, Ta. Udah ah, jangan dibahas."

"Gue justru pengen banget jadi orang pertama yang lo cari ketika lo sedih Re, gue mau jadi orang itu."

Lagi-lagi aku tersentak, "Maaf ya, Ta, kalau aku ngebuat kamu ngerasa kayak gitu. Mulai sekarang, you are my 911." ucapku dengan senyum ciri khasku di akhir kalimat.

Dikta tersenyum, "Gue yang minta maaf, mungkin sikap gue yang gak terlalu perhatian ke lo justru ngebuat lo gak enak buat cerita ke gue. I'm so sorry for that, Re."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang