Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, bisa jadi apa yang telah lampau berlalu itu merupakan suatu kenangan konyol tanpa arti; yang biasa ditemui dalam kehidupan anak-anak muda, penuh nafsu-nafsi, keputusan mentah dan kehidupan bebas. Tetapi aku menyimpan kenangan itu sebagai sesuatu yang berharga—bagaimanapun, adalah proses yang menjadikanku seperti ini (bukankah semua yang telah berlalu merupakan proses?).
Aku saat ini pasti bertanya-tanya; kenapa dulu aku begini, begitu, mengambil keputusan dengan ragu-ragu, kemudian berakhir menyesali banyak hal. Selalu ada penyesalan setiap kali seseorang membayangkan masa lalu.
Karena satu faktor, aku kembali teringat pada Giyuu-san, pemuda yang mengaku berasal dari Cina meski dengan aneh dia katakan bahwa dia sama sekali tidak memahami bahasa Cina. Penampilannya boleh dikata agak nyentrik—kalau tidak mau disebut aneh. Sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan Giyuu-san selalu berakhir dengan kata ‘aneh’.
Di era yang sudah modern, dia memanjangkan rambutnya sebagaimana samurai (atau sebenarnya dia ini lebih condong ke hippie khas gaya Amerika, sebagai bentuk protes terhadap peperangan yang terjadi di Vietnam—mengingat ini adalah Giyuu-san). Sejujurnya aku sangat sering melihat dia di perpustakaan dan orang-orang memberinya julukan Samurai-sama, sehingga kadang-kadang aku bergumam di dalam hati; oh, Samurai-sama sedang membaca Thomas Wolfe. Perawakannya tinggi, sedikit lebih tinggi dariku. Kupikir dia punya tampang yang lumayan seandainya rambutnya cepak.
Kami tak sengaja akrab karena sering berjumpa di perpustakaan universitas. Dia tidak banyak bicara, sebagaimana aku. Satu faktor yang membuatku teringat padanya adalah sebuah buku karangan Fitzgerald, sebab faktor itu pula yang membuatku mengenal Giyuu-san.
Tatkala aku mengemasi barang-barangku karena hendak pindah, The Great Gatsby tergeletak di antara tumpukan buku-bukuku yang kertasnya mulai menguning. Tiba-tiba terlintas bayangan mengenai lelaki itu, seolah terjadi secara alami. Dia menyapaku dengan kalimat yang bisa jadi aneh. Katanya, tahukah kau betapa aku sangat membenci tindak-tanduk perempuan manis karena novel itu? Manis dan cantik, digambarkan sebegitu tidak berdaya tetapi mampu memikat—dengan cara paling kejam dan mematikan.
Dia juga bertanya apakah aku keberatan kalau dia membeberkan isi novel tersebut. Kupikir itu bukan masalah, sebab aku sudah pernah membacanya sebelum-sebelum ini. Lagi pula, bisa dibilang The Great Gatsby merupakan salah satu novel yang wajib dibaca dan dipelajari, khususnya yang memang bergelut di jurusan sastra sepertiku. Dan ini adalah kali ketiga aku membacanya. Dalam hati, aku ingin tahu juga bagaimana pendapat pemuda ini mengenai Fitzgerald.
Kami kemudian berbincang bagai kawan lama. Aku mungkin memang tidak banyak bicara, tetapi ketika ada topik yang membuatku tertarik, aku bisa berubah agak cerewet (menurutku semua orang pendiam memiliki kecenderungan yang sama). Dia memperkenalkan diri sebagai Tomioka Giyuu, tiga tahun di atasku (sedang sibuk mengurusi tugas akhir). Mula-mula aku memanggilnya Tomioka-san, lalu dia memintaku memanggil nama depannya saja sebagaimana dia memanggil nama depanku. Kami langsung akrab dan semakin akrab setelah Giyuu-san mengajakku makan siang bersama.
Ada proses sebelum Giyuu-san melepas satu demi satu kain yang menutupi kehidupannya, seperti juga aku yang menutupi kehidupanku dengan berlembar-lembar kain. Ada masa ketika dia menceritakan semuanya; bahwa sesungguhnya dia berdarah Cina murni dengan nama asli Yixing (penulisan kanjinya tetap sama dengan penulisan nama Giyuu, tetapi aku sendiri tidak tahu cara membaca kanji tersebut dalam lidah orang Cina).
“Apa yang membuatmu kuliah di jurusan Sastra Inggris, Tanjiro?”
“Apa ya?” aku agak bingung juga kalau ditanya seperti itu. Aku merasa bahwa hanya inilah satu-satunya jurusan yang pantas buatku, aku mengatakannya bukan dalam konteks sombong. Semacam, ya, jurusan selain jurusanku itu, aku mungkin sama sekali tidak memahaminya. Tidak sampai ke otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsugi | GiyuuTan
FanfictionPerlahan Giyuu melepas satu demi satu kain yang menutupi kehidupannya, seperti juga Tanjiro. [GiyuuTan. Kehidupan Giyuu yang dinarasikan oleh Tanjiro. Shouwa Era, 1970s. Historical references]