Saat Giyuu-san mengatakan Kamen no Kokuhaku, seketika terbayang dalam kepalaku mengenai Kocchan, si tokoh utama dalam novel tersebut. Kocchan yang digambarkan homoseksual, tertarik pada laki-laki yang menderita seperti si pengumpul kotoran maupun petugas kereta, atau tentara-tentara yang berlari penuh keringat melewati rumahnya—membayangkan banyak di antara mereka mati di medan peperangan. Kocchan menikmati penderitaan mereka sebagaimana Kocchan sendiri, yang sama menderita dan terkurung dalam kepalsuan.
Dalam absurditas identitas seksualnya, Kocchan terus menjalani hidup dengan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan repetitif; apakah kalau aku melihat tubuh telanjang Ote, aku akan merasa terangsang? Ote adalah kawan laki-laki Kocchan. Tetapi, setelah melihat Ote telanjang, Kocchan justru amat kecewa sehingga rasa sukanya langsung lenyap begitu saja.
Otakku telah merekam semua isi novel itu dengan jelas, tetapi aku pribadi bingung bagaimana menjabarkannya, dan kenapa Giyuu-san tiba-tiba bertanya soal Mishima? Sebab, sejauh aku mengenalnya, dia lebih banyak bergumul dengan sastra klasik yang berkiblatkan ke arah Barat—meski ia lebih memilih futon ketimbang ranjang (aku tahu ini tidak ada korelasinya). Dan ia pernah berkata bahwa ia lebih menikmati karya-karya sastra dari penulis yang sudah mati, dengan alasan yang saat itu kurang kupahami.
Jadi, aku diam sejenak, berpikir; oh, itu, sebelum kemudian tersadar bahwa bibir Giyuu-san menempeli bibirku, yang lalu membawa lidahnya masuk pula. Sebetulnya aku dibiarkan bergerak dengan bebas. Giyuu-san tidak menahan kedua lengan atau kakiku, dia hanya mendorong leherku agar kepala kami mendekat sehingga dia bisa mencium bibirku. Aku bisa saja menendangnya atau melayangkan pukulan, tetapi dalam situasi yang belum kupahami betul, aku cuma bisa diam seperti orang tolol.
Barangkali, karena tidak melawan, Giyuu-san tidak menghentikan ciumannya. Ciuman itu semakin dalam dan intens, membuatku bertanya-tanya suara erangan siapakah yang kudengar; apakah Giyuu-san atau justru aku sendiri. Masih dapat kubayangkan bagaimana sensasinya; lidah hangat, tarikan napas yang begitu dekat, sepasang mata saling menatap, dan tiba-tiba aku merasa lidah Giyuu-san sangat panjang seakan terasa masuk ke tenggorokan, melewati kerongkongan hingga sampai di dalam perut. Aku dibuat melilit. Saat ciuman berakhir, Giyuu-san menatapku agak lama sebelum kemudian kembali mendekatkan muka. Kali ini bibirnya mendarat di leherku.
“Kenapa kau tidak mendorongku, Tanjiro?”
Aku menahan napas. Debaran jantungku tidak beraturan—sangat kacau, seperti baru saja berlari kencang. Aku tidak tahu kenapa aku harus mendorongnya. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak mendorongnya. “Apakah aku harus mendorongmu, Giyuu-san…”
Dan aku tidak mengerti kenapa Giyuu-san tertawa. Apakah dia berpikir bahwa ciuman itu hanya sebatas lelucon? Aku tak dapat mengenyahkan pikiranku tentang Kocchan, sampai-sampai perutku bergejolak sungguhan. Aku melilit, mual. Dalam bayangan absurdku, aku bertaruh seandainya aku muntah, bisa jadi aku bakal menemukan lidah Giyuu-san meliuk-liuk. Banyak. Bertumpuk-tumpuk.
Sejak saat itu, Giyuu-san seperti mencoba menjauh. Dia selalu menolak apabila diajak makan siang bersama. Alasannya sibuk mengurus tugas, lain-lain. Beberapa kali aku menelepon ke rumahnya, dia tetap penuh alasan yang lama kelamaan membuatku muak juga. Harus kuakui Giyuu-san sama sekali tidak pandai berpura-pura. Aku tidak mencoba untuk meraihnya atau memaksakan diriku kembali berkawan dengannya. Sudah tentu ini berhubungan dengan ciuman itu, yang dia lakukan dengan sadar entah dalam konteks bergurau atau semata-mata penasaran atau sebagaimana Kocchan yang berhasrat pada laki-laki.
Yang kusimpulkan ialah; Giyuu-san bergurau, melihat reaksiku yang tidak menolaknya, dia pun jadi bertanya-tanya mengenai orientasi seksualku, kemudian memutuskan untuk menjauhiku karena berpikir aku ini seorang homoseks. Aku cukup terpukul dengan pemikiran ini. Bagaimanapun, kadang-kadang aku menyesal kenapa tidak kutendang saja kemaluannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kintsugi | GiyuuTan
FanfictionPerlahan Giyuu melepas satu demi satu kain yang menutupi kehidupannya, seperti juga Tanjiro. [GiyuuTan. Kehidupan Giyuu yang dinarasikan oleh Tanjiro. Shouwa Era, 1970s. Historical references]