B E D A

38 10 6
                                    

"Ren, jangan egois, kita sama sama sakit disini. kita sama-" Renjun memotong ucapan lelaki didepannya.

"Kita Beda" Renjun menekankan kata "Beda" diucapannya, "Kita beda, lo ninggalin gue demi cewek itu dan lo lega... beda sama gue, Gue ditinggalin lo jadinya apa Jen?" Suaranya parau karena ia menahan tangisnya.

"Gue hancur, gue sedih, gue galau sementara lo? lo lega, lo bisa have fun sama dia. lo lega karena lo udah ngebuang gue" Kepalanya tertunduk, air mata yang ia tahan pun keluar dengan sendirinya Lalu ia menatap lelaki didepannya kini.

"Kita beda kan?"

Renjun menunggu bajingan itu manjawabnya.

"Ya, lo harus ngertiin gue" Jeno menatapnya dengan tatapan sendu.

Bibir ranum merah mudanya ia gigit kuat-kuat, tidak lagi ia membiarkan Jeno melihat air matanya. "Apa lo pernah ngertiin gue?" Lelaki itu balas bertanya, membuar Jeno mengepalkan tangannya.

Bohong kalau Jeno tidak sakit dengan apa yang Renjun tanyakan.

"Lo diem, iya bener Jen, lo gak pernah" Katanya Lagi.

"Ren, gak semua yang lo punya bakal jadi milik lo selamanya" Jeno mencoba meyakinkan Renjun.

"Iya tau, tapi kenapa kaya gini? kenapa lo selingkuhin gue dan kenapa lo minta gue buat ngertiin lo? lo mikir gak sih kalo itu bikin sakit banget?" Air matanya keluar lagi, lebih deras dari sebelumnya.

"Ren, Maaf"

"Lo tau kalo gue gak akan pernah maafin lo"

"Ren..."

"Ya, lo boleh pergi, pergi sama siapa yang lo mau itu terserah lo tapi buat maafin lo itu juga terserah gue" Renjun engan menatap Jeno.

"Lo gak perlu maaf dari gue buat pacaran sama dia, lo telfon, ketemu, ciuman aja gak pernah tuh minta maaf dulu ke gue" Lelaki mungil itu pamit dengan membanting kecil gelas yang berisi es teh manis itu.

Jeno sedikit tersentak lalu kembali menatap Renjun yang berdiri didepannya.

"Kita udah selesai, sekarang" Pemuda Huang itu berkata, jemarinya menarik cincin dijari tengahnya.

Cincin itu ditaruh didepan Jeno.

"Jadi cincin ini udah bukan milik gue lagi" Suaranya serak, terbata. bisa ditebak bahwa Renjun sedang menahan air matanya.

"Ren--"

"Iya udah gue pamit, semoga bahagia selalu" Sebelum meninggalkan Jeno yang berkaca-kaca, Renjun menundukan pandangannya, menatap sepatu yang sama persis dengan milik Jeno yang sekarang pemuda Lee itu pakai juga.

Air matanya tidak bisa ia tahan, ia menangis, bahunya bergetar hebat, suaranya terdengar pilu.

Renjun menjadi pusat perhatian

Jeno bangkit, hendak menenagkan Renjun tapi Renjun mengucapkan kata-kata yang mencubit hatinya.

"Aku gak sekuat itu, aku rapuh banget Jen"

"Ren--"

"Enggak, jangan ngomong, jangan bikin aku semakin egois dengan pilihanmu. Iya Jen, dia terbaik, dia pantas milikin kamu dan juga sebaliknya."

Renjun mengusap air matanya, tersenyum lebar didepan Sang Mantan kekasih yang juga mengusap air matanya.

Jemari mungil itu Jeno raih, memasukan kembali cincin yang tadi Renjun lepas.

"Kita emang udah pisah, tolong jaga baik-baik barang dariku, aku bakal begitu juga Ren, semoga kamu cepet dapat kebahagiaanmu"

Senyum itu terpatri dibibir pemuda Lee, membuat Renjun semakin sesak saat melihatnya.

"Iya" Suaranya terbata lalu menghela nafas.

"Gue pamit"

Renjun berlalu, meninggalkan Jeno yang terduduk dengan air mata yang terus menetes. Ia tidak ingin kehilangan Renjun tapi ia tidak ingin juga kehilangan Karina. Ia tidak mau egois karena memiliki keduanya.

Tapi kini, ia merasa seperti bajingan yang telah membuang berlian. Benar, Ia tidak boleh seperti itu, ini adalah resiko dari pilihan pertamanya.

-Sudah-





SENJAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang