5. Anak yang dibuang

14 4 0
                                    


        Karena apa kamu peduli?

🌚🌚

"Rinjani ...."

Rinjani dan Atian sontak menoleh. Hari, sang papa berdiri dengan memegang pegangan troli yang berisi banyak bahan makanan.

Sedang berbelanja, eh?

"Kemana aja kamu?!" ketus sang papa. Yang ditanya hanya diam dengan raut dingin.

"Di mana kamu tinggal selama ini, hm?" Hari meletakkan tangan kanan pada pinggangnya, memamerkan gaya yang arogan.

Rinjani sampai sekarang masih sangat heran. Ke mana lelaki gagah dan berwibawa itu menghilang? Di mana sosok hangat yang kerap kali mengusap rambutnya itu?

Kenapa sekarang papanya—yang teramat dia banggakan—berubah?

Seorang wanita yang datang menaruh sayuran di troli lalu mengamit lengan Hari mengalihkan pikiran Rinjani.

Ah, sang mama yang meninggal 5 tahun lalu telah terlupakan. Kini papanya bahagia bersama wanita lain.

Sesak kembali menyerangnya, perih saat ia menarik napas. Mendapati lelaki itu sama sekali tidak senang setelah bertemu dengannya. Tidak bertanya kabar seperti dulu, malah bersikap ketus dan memamerkan keluarga cemaranya.

"Loh, Jani? Ini Jani 'kan, Mas? Ke mana aja, Nak?"

Ini Jini kin Mis
Ki mini iji

Gadis itu mencibir dalam hati. Ibu tiri ular yang cosplay jadi ibu peri.

Memuakkan.

"Masih kurang ajar ternyata. Ngapain ngeliatin mama kamu dengan sorot membunuh begitu?!"

Rinjani mengalihkan tatapan pada Hari. Dadanya makin nyeri.

"Kalau dia adalah Mama, maka dia harus aku bunuh, karena Mama sudah mati!" Nada bicara itu tegas dan dingin seperti bongkahan es yang tajam.

"Kurang ajar kamu ya—" Hari menoleh, mendapati Atian yang mencengkeram lengannya, menahan tamparan yang akan dia layangkan pada Rinjani. Dia melotot.

"Jangan pakai kekerasan pada anak. Anda adalah ayahnya."

"Siapa kamu, hah?!" Lelaki itu makin naik pitam.

"Mas, udah. Ini di tempat umum, gak baik. Kita bicarakan baik-baik aja ya." Laudi menepuk pelan punggung Hari.

"Gak perlu. Sama seperti Kak Hima, Papa udah ngebuang aku. Papa sekarang punya keluarga baru. Yang lama udah terlalu burik." Rinjani tersenyum getir.

Miris.

Segitu cepat kah kehidupannya hancur? Segitu mudah kah dirinya rusak?

Rinjani. Nama indah yang diberikan sang mama dengan harapan dia akan berdiri sekokoh gunung Rinjani. Tumbuh seindah dan setangguh bukit Rinjani.

Tapi sayangnya, kedua kaki yang gemetar, keringat dingin yang memenuhi jemari dan punggungnya, gelombang panas yang melelehkan isi kepalanya adalah pertanda bahwa dia belum bisa setangguh gunung Rinjani.

***

Seperti kaset rusak. Deretan kejadian mengerikan itu berputar di kepalanya.

Gadis itu kumat.

Saat perjalanan pulang, dia hanya diam dengan tatapan kosong.

Atian harus kembali mendengar suara jeritan dan lolongannya. Melihatnya berlari ke dinding lalu membenturkan kepala, meninju tembok keras itu hingga kepalan mungilnya terluka.

Satu lagi pelukan yang diberikannya kepada gadis itu. Hanya ini yang bisa ia berikan sebagai penebus atas dosa keponakannya.

Membiarkan kemejanya digenggam erat hingga kancing atas terlepas. Menahan perih saat Rinjani mencakar dada dan mengigit lehernya.

Setidaknya gadis itu tak lagi menyakiti dirinya sendiri.

Ia memukul dada bidang Atian, melampiaskan rasa panas yang bergejolak di seluruh tubuhnya.

Gelombong yang meluluh-lantahkan kewarasannya kembali datang.

Gadis itu baru saja tenang setelah diberi obat oleh Atian. Entah berapa lama dia histeris, hingga tidak menyadari bahwa langit sudah menggelap.

Atian berdiri menjulang di samping ranjang, menatap wajah damai Rinjani. Ia menghela napas. Sudah 5 bulan dia menghadapi kebar-baran gadis itu.

Entah karena alasan apa, hatinya berdetak. Jika untuk menuntaskan rasa bersalah, seharusnya ini sudah cukup kan?

Jika karena kasihan, bukankah seharusnya ia mengantar gadis itu pulang ke rumahnya? Kenapa ia harus berbuat sejauh ini? Toh sang ponakan sudah menerima hukumannya di penjara.

Atian membungkuk, menatap wajah itu dalam. Membelai pelan surai hitamnya, lalu mencium keningnya pelan, merasakan hangat kulit gadis itu di bibirnya.

"Teruslah bertahan ... Ririn."

***

"Kak, Papa kapan pulang?"

"Hm ... mungkin besok lusa."

"Loh, bukannya Papa bilang pulangnya nanti malem, ya?"

Himalaya tersenyum tipis, terlihat malu-malu. Tapi gurat kekecewaan tersurat di matanya.

"Terus, kenapa kamu nanya lagi kalo udah tau?" Dicubitnya pipi sang adik yang berbaring di sampingnya.

"Tadi Papa nelpon Jani, dia cerita banyak. Katanya makanan di sana enak-enak buanget. Nanti kalo Jani ultah, Papa bakal ngajak kita ke sana. Huwahhhh." Gadis mungil itu bercerita dengan antusias.

"Kita?"

Iya, Kak. Kita bertiga. Jani, Kakak, sama Papa."

Hima tersenyum miris.

"Iya, nanti kita ke sana kalo kamu ulang tahun."*l

Hingga 3 ulang tahun yang sama, Jani hanya pergi berdua bersama sang papa. Sedang kak Hima selalu beralasan tak bisa ikut.

"Kamu tau gak, Jan?"

"Ya enggak dong, Kak. Kan belum dikasih tau." Gadis itu cemberut, membuat sang kakak tertawa kecil.

Dipandangnya wajah sang adik. "Kakak sayang banget sama kamu."

Kakak sayang banget sama kamu.

Kakak sayang banget sama kamu.

Tatapan penuh cinta itu seketika berubah menjadi pandangan redup kemerahan. Wajah mulus dan putihnya menjadi bonyok dan mengalirkan darah kental.

Di atas batu besar yang penuh darah, perempuan itu bergumam, "Selamat tinggal, Jani."

Selamat tinggal, Jani.

Lalu, selamat datang kembali ... mimpi buruk.

RINJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang