Chapter 1.1: Enigma

3.7K 442 56
                                    

Tolong tandai jika ada kesalahan tik. Terima kasih dan selamat membaca^^

.

.

.

.

.

[Full Name] tidak tahu kapan perjuangan, tangis, cinta, hingga penderitaannya bermula. Tetapi yang ia tahu, semua ini tidak akan berhenti begitu saja.

Matahari telah mencapai pada titik tertinggi di atas sana. Dari gorden tipis yang terbuka, cahayanya masuk sedikit menembus kaca penuh debu. Menyinari secara langsung, memberi kehangatan kepada manusia yang sedang berada di sana. Sementara angin terus menyusup melalui celah kecil pada jendela. Memberi setidaknya sedikit udara untuk kepegapan juga kesengsaraan dalam kamar.

Hal yang [Name] paling inginkan saat ini adalah berteriak, dan seseorang mendobrak paksa pintu kamarnya.

Ini sudah berjalan terlalu lama. Perempuan itu bahkan tak lagi bisa berhitung telah berapa banyak bunyi lonceng pemanggilan para pengungsi untuk segera turun. Ah, sudahlah. Setelah semua yang sedang terjadi, memangnya ia masih sanggup untuk berpikir?

Sebab dirinya berada dalam posisi tidak berdaya.

Pandangan mulai berkunang-kunang. Kepala seperti terserang oleh vertigo. Terus berputar hingga mual dan tak lagi sanggup membuka mata. Beruntung tadi pagi [Name] melewatkan sarapannya. Karena jika tidak, sudah dapat dipastikan makanan itu akan langsung dimuntahkan saat ini juga.

Kedua mata terpejam, tangan terkepal erat, sudut bibir digigit kuat.

[Name] yakin—walau dalam hati berharap dengan sangat jika ia akan salah—ini tidak akan berakhir cepat. Bukannya apa-apa, tetapi perempuan itu sudah paham gelagat beserta situasi. Lagipula, hal ini bukan kali pertama terjadi. Mungkin kali ketiga atau empat di bulan ini, dengan frekuensi semakin sering di setiap bulannya.

Tersedak, tercekat, terisak pelan.

"[Name]."

Perempuan itu sontak membuka mata. Menatap ke arah pintu yang diketuk dari luar. Air mata meleleh ketika ia menyampingkan wajah. Setelah menunggu cukup lama, [Name] merasa sang penyelamat telah tiba. Akhirnya ada seseorang yang bisa menolongnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

[Name] ingin sekali rasanya bisa bersuara. Menjawab pertanyaan itu agar hal yang sedang ia alami segera berakhir. Mulut sudah terbuka setengah dan suara hampir saja keluar. Namun, sesuatu tak membiarkannya untuk menjawab. Seolah bicara sekecil atau satu kata pun akan mendapat larangan keras.

Aku tidak baik-baik saja.

Perempuan itu meringis kecil. Air mata terus meleleh. Tangan juga jemari kaki terkepal erat.

"Aku diminta menyuruhmu cepat turun untuk makan siang. Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?" tanya orang itu lagi setelah tak kunjung mendapatkan jawaban. Frekuensi ketukan pun kembali meningkat. "Tadi di bawah aku mendengar teriakan dari kamar ini. Apa itu kau?"

Itu memang aku.

Akhirnya dengan penuh kekalutan juga nada ketakutan [Name] menjawab, "Aku tidak apa-apa."

"Kau yakin?" Kali ini suaranya terdengar tidak percaya. "Kau tidak mau aku masuk? Aku bisa menemanimu jika kau memang sedang sakit."

"Iya, aku yakin." Dobrak saja pintunya, aku mohon! "Kau tidak perlu menemaniku."

"... Baiklah. Kalau begitu aku akan menunggumu di bawah."

Tidak—jangan pergi!

[Name] mengalihkan pandangan dari arah pintu. Kini suara sudah tertahan sepenuhnya. Keringat dingin semakin mengaliri kening. Degup jantung terasa lebih cepat dari yang seharusnya. Walau saat ini, pisau tajam telah dijauhkan dari sisi leher, ia sama sekali tak bisa menetralkan rasa takut.

H O P E [Levi X Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang