Chapter 1.3

1.5K 245 7
                                    

[Name] mempersilakan Klaus masuk.

Klaus berdiri tak jauh darinya. Pria itu mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Matanya seolah menatap setiap hal yang berada di sana dengan teliti. Memeriksa. Menghakimi dalam keterdiaman.

"Lukisannya ... ada dimana?" tanyanya pelan.

"Di kamarku."

"Begitu," gumamnya sambil tersenyum tipis, lalu menepuk pelan puncak kepala [Name]. "Kau ingin terus memandangi lukisan itu sebelum tidur, hm?"

[Name] berusaha untuk tidak menghindar ketika tangan itu menyentuh kepala dan mengusap rambutnya pelan. Sebisa mungkin ia bertahan untuk terlihat normal dan tidak lari atau pun menepis.

Untuk perkataan yang diucapkan kekasihnya tadi, tidak, bukan seperti itu. Ia tak berniat memandangi wajah dirinya dan Klaus yang terlukis pada kanvas besar. [Name] justru menyimpannya di sembarang tempat, dengan posisi menghadap ke tembok. Tidak perlu penjabaran dengan berbagai alasan sebab jawabannya sudahlah pasti: Lukisan itu tampak begitu palsu, dan ia membencinya.

[Name] mengambil kantong berisikan makanan di tangan Klaus. "Biar kupidahkan makanannya ke piring."

Klaus mengekori kekasihnya ke dapur. Ia duduk di kursi meja makan sementara [Name] mengambil dua buah piring untuk mereka. Lagi dan lagi, atmosfer tidak mengenakkan pun terjadi. Selalu terdapat keheningan ketika kedua orang itu sedang menghabiskan waktu bersama-sama.

Maka, sebelum situasi menjadi lebih tidak mengenakkan, [Name] pun bersuara, "Sebenarnya kau tidak perlu repot-repot datang kemari."

"Tidak masalah. Lagipula aku memang ingin menemuimu. Oh, iya, kau sudah tahu kabar terbaru? Ayah berhasil mengajak kerja sama para pedagang di dinding terdalam. Seharusnya itu tugasku tapi aku masih kesulitan dalam hal bernegosiasi. Ngomong-ngomong, bagaimana pekerjaanmu?"

"Sama seperti biasa."

"Sudah minum obat? Saat Maria bilang kau sakit dan pulang lebih dulu, aku sangat khawatir."

"Sudah," jawabnya bohong. Sebab jika [Name] menjawabnya dengan jujur, Klaus pasti akan pergi membeli obat. Lalu kemungkinan besar bisa membuat pria itu berada di tempatnya lebih lama lagi. Tak mau ambil pusing, ia pun menyimpan kedua piring di atas meja. Langsung melahap makanannya tanpa repot-repot mempersilakan sang kekasih untuk makan.

"Kau ... tidak ingin bertanya balik soal keadaanku?"

[Name] mengalihkan tatapannya dari makanan di piring. "Hah?"

Pria itu menghembuskan napas dan membuat sebuah gelengan. "Lupakan."

"..."

"Aku mendapat waktu libur selama dua hari. Ayah bilang aku harus mengistirahatkan tubuh dan menghabiskan waktu lebih banyak denganmu. Kau sedang sibuk-sibuknya, kan?" Klaus terdiam agak lama. "Mungkin karena itu aku harus menginap di sini. Rasanya sudah lama tidak—"

"Jangan."

Ia menatap bingung. "Kenapa?"

"Tadi kau sendiri yang bilang jika aku sedang sibuk."

"Justru karena kau sedang sibuk," ulang Klaus. "Aku bisa membantumu menyelesaikan pekerjaan. Kupikir memeriksa lembar jawaban anak-anak akan menjadi kegiatan yang menyenangkan."

"Kita bisa menghabiskan waktu kapan pun dan dimana pun. Tapi tidak di sini, tidak pula di malam hari."

"Kenapa?"

[Name] tidak menjawabnya.

"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Klaus. "Aku tahu kau memang seperti itu, tetapi akhir-akhir ini kurasa kau seolah antipati denganku."

H O P E [Levi X Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang