Bagian 5

596 101 31
                                    








Menurutmu, hal apa yang paling menyakitkan di dunia?

Kematian?

Kemiskinan? Atau—

Percintaan?

Bukan. Bagi Hyunjin, bukan itu semua. Ia rasa, ia akan nampak naif jika melebih-lebihkan seolah ialah manusia paling menderita didunia.

Hyunjin telah mengalami itu semua.

Ditinggal sang bunda untuk selama-lamanya, bahkan ditelantarkan sang Ayah yang bagaimana rupanya saja Hyunjin tidak tau. Ia pernah.

Ia bahkan pernah hidup luntang- lantung di jalanan. Menjalani kemiskinan didalam kemiskinan itu sendiri. Tidak punya rumah, tidak punya harta. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja ia susah.

Tak ada yang tau ia pernah menjalani kehidupan itu selain Ibunya. Dikehidupan yang seharusnya ia belajar di sekolah dasar, Hyunjin justru bekerja bersama keluarga tunawisma lainnya.

Tidak ada kata cinta dihidupnya. Memangnya, apa itu cinta? Hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Oh, cinta juga membuang-buang harta dengan sia-sia. Demi membahagiakan orang yang dikasihi, yang bahkan tidak tau apakah orang itu mengasihi kita balik.

Sejujurnya Hyunjin hanya terlalu egois untuk mengakui jika ia pun tengah membuang-buang waktu untuk membuat Felix mengasihinya. Menatapnya seperti ketika anak itu menatap ketiga kakaknya.

Ia hanya terlalu egois untuk mengakui jika ia ingin diakui dikeluarga.

Benar, sebab baginya, hal paling menyakitkan ialah ketika kau merasa dikucilkan di keluarga.

Hyunjin hanya ingin seperti saudaranya yang lain, berbagi kasih dan tawa tanpa rasa sungkan yang menguasai jiwa.

Melihat mereka saling bercanda membuat sudut hati Hyunjin berdenyut sakit. Merasa terasingkan, seolah diantara ia dan yang lainnya terdapat sekat transparan yang menghadang.

Hyunjin hanya ingin—

"Lho Jin, baru pulang?"

Teguran itu membuat Hyunjin tersentak dari lamunan. Mampu membuat segala banyangan mendramatisir yang beberapa saat lalu menguasai otak musnah begitu saja.

Ia berjalan mendekat, ke arah dimana Changbin tengah duduk di sofa dengan Felix yang bermanja disebelahnya. Hyunjin membungkuk kecil sebagai bentuk sapaan hormatnya.

"Iya bang. Bang Abin sendiri, kapan sampai?"

"Sore tadi. Kamu udah makan malem? Tadi saya beli makanan didapur, kalo kamu mau, angetin lagi aja." Hyunjin mengangguk dengan gumaman terimakasih. "Oh iya, saya juga beli oleh-oleh, saya taruh dikamar kamu. Semoga suka ya."

"Iya bang, makasih sekali lagi. Kalau gitu, Hyun pamit ke kamar dulu ya."

"Sok kalem banget cih." Itu Felix yang berceletuk ditengah pijakan Hyunjin menuju kamarnya.

Dapat Hyunjin dengar anak itu mendapat teguran kecil dari Changbin. Entahlah, Hyunjin tak mau perduli untuk hari ini. Ia lelah sekali. Menunggui Felix yang menangis sepanjang sore membuat badannya pegal sana-sini.

...

"Dari Kak Abin." sebuah paperbag mendarat agak keras di atas meja.

Jeongin yang semula fokus pada ponsel kini mendongak, menatap dimana Felix yang sedang menarik kursi kemudian duduk.

"Apa bengong? Biasanya aja heboh kalo dikasih oleh-oleh."

"Males ah. Bang Abin dari luar kota, pasti oleh-olehnya biasa aja. Padahal gue maunya dikasih sama Bang Ino, pasti wah banget tuh langsung dari Itali."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[BL] BROTHER(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang