Chapter 1

1K 79 10
                                    

SERA

Di lereng pegunungan Alpen, aku berjalan dengan membawa sebuket bunga krisan putih menuju pemakaman yang penuh kedamaian dan penghormatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di lereng pegunungan Alpen, aku berjalan dengan membawa sebuket bunga krisan putih menuju pemakaman yang penuh kedamaian dan penghormatan. Tempat ini terletak di atas bukit kecil, menghadap lembah yang subur dan menghadirkan pemandangan menakjubkan menuju kota yang berlayar di tengah hamparan hijau. Pohon-pohon mapel berjejer di sekitar area pemakaman, memberikan tempat teduh yang nyaman bagi para pengunjung yang datang untuk mengenang orang-orang tercinta.

Aku selalu memandang sesaat pintu gerbang berukir itu, tampak seperti sambutan hangat bagi siapa saja yang datang. Jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga warna-warni membimbing orang yang datang melalui taman berduri yang dipenuhi aroma bunga segar.

Di belakang pemakaman, lapangan terbuka menghadap langsung ke lembah dan kota yang berada di kejauhan. Tidak jauh dari situ, tampak paviliun kayu dengan atap yang menjulang tinggi, menawarkan tempat berlindung bagi para pengunjung untuk berkumpul dan berbicara tentang kenangan indah yang telah mereka bagikan dengan orang-orang yang mereka cintai. Meskipun begitu, aku tidak pernah mengunjungi tempat itu.

Aku berhenti disamping sebuah makam dengan batu nisan marmer berwarna putih yang memantulkan cahaya matahari. Hari ini cuaca tidak terlalu panas. Di sekitar batu nisan terdapat taman kecil yang dirawat dengan baik, ditanami bunga-bunga dan tanaman yang menarik perhatian kupu-kupu dengan riang. Rasanya sangat menenangkan.

"Ibu, aku kemari untuk berpamitan."

Seketika hembusan angin menyapu kulitku dengan lembut. Rasanya seperti ibu sedang menyambut kedatanganku dan mengusap surai rambut panjangku seperti dulu. Aku meletakkan buket bunga kesukaannya di depan batu nisan. Menatap bunga putih itu sesaat. Indah, seperti senyum ibu.

Sial. Aku sudah berusaha untuk tidak menangis meskipun itu mustahil. Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang aku benar-benar sendirian. Sendirian didunia yang kejam dan gila. Sendirian beradu dengan takdir semesta. Sendirian diantara kerumunan para pendosa. Itu karena satu-satunya rumahku adalah ibu.

Aku sangat meridukan ibu. Merindukannya seperti bumi kering yang merindukan hujan. Seperti matahari yang merindukan senja. Seperti angin yang merindukan pohon-pohon tumbuh. Seperti pasir yang mendamba ombak untuk menyapu. Hampir mati karena merindukannya.

Selama beberapa saat aku duduk dan mulai berbicara pada bayanganku yang membelakangi matahari. Menceritakan bagaimana aku melewati hari-hari yang lebih banyak dihabiskan di dalam kamar. Rumah besar itu tak lagi terasa seperti rumah, karena jiwanya telah tiada.

Aku bertanya-tanya, akankah aku bisa merelakan Ibu? Akankah aku mampu bertahan sampai Tuhan mengatakan waktunya pulang? Entah bagaimana, aku tahu jawabannya. Ibu tidak ingin aku menangisinya lagi. Aku akan berusaha lebih keras untuk tidak mengingat malam yang telah menghancurkan hidupku. Akan aku pastikan hanya kenangan baik tentang ibu yang bertahan dalam ingatanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alive, With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang