5

1K 196 29
                                    


"Kamu kenapa sih datang-datang kok ngamuk-ngamuk gini?" Neta, sekretaris sekaligus sepupu mantan suami Redanti  yang terlihat mengantuk segera menutup pintu rumahnya karena hari sudah larut malam, ia dikejutkan oleh telepon berulang Silvi yang ada di depan rumahnya, hingga meski ngantuk berat ia tetap bangkit dan menyeret langkahnya ke pagar.

"Mangkel aku Mbaaak, pokoknya mangkel, aku mau tidur di sini, di kontrakan aku tidur sendiri dan rasanya makin sebel aja, pinjam baju tidur Mbak Net."

Neta kembali berjalan terseok menuju lemari, melempar daster bergambar Donald duck ke arah Silvi dan segera merebahkan diri lagi di kasurnya.

"Kamu kesambet apa gimana ya? Udah sana ambil wudu dulu baru tidur biar ngga keterusan jinnya ngikut kamu."

Neta memeluk guling dan memejamkan matanya lagi tapi tak lama kemudian ia terpaksa membuka mata saat Silvi merebahkan badannya dengan kasar.

"Kamu mangkel sama siapa?"

"RAFLI, RAFLIIII."

"Lah lah laaaah jatuh cinta ternyata, pake acara manggil nama cowo dan teriak-teriak."

"Kan aku bilang itu adik Bu Redanti yang menyebalkan Mbaaak, ah Mbak Neta nggak ngerti banget sih."

Kantuk Neta akhirnya betul-betul hilang saat Silvi bercerita kejadian di cafe. Neta ngakak saat Silvi bercerita betapa malunya dia saat salah tempat duduk.

"Makanya, emosi ya emosi tapi akal tetap jalan biar fokus."

"Lah temanku sama temannya si kunyuk itu pake baju warna sama Mbak, heh mangkel aku."

"Kamu awas cinta loh ya, jangan benci yang kelewat batas, aku kok lupa bener sama wajah Rafli, dulu ketemu cuman sekali pas nikahnya Mbak Re dan Mas Abdi."

"Nggak akan Mbaak ih amit-amit aku jatuh cinta sama cowok mulut comberan, ganteng sih iya, badannya kayaknya emang enak buat dipeluk-peluk tapi pas tahu mulutnya yang pedes ogah Mbak, semoga dijauhkan."

Neta tertawa dan bangkit menuju ke dapur.

"Mbak mau ke mana?"

"Bikin cokelat hangat, mau?"

"Mauuuu!"

.
.
.

Rafli kaget saat melihat kakaknya yang masih belum tidur dan duduk di ruang tamu.

"Kakak kok nggak tidur? Ini sudah larut malam," Rafli berjalan mendekat ke arah Redanti dan duduk di dekatnya. Redanti merebahkan kepalanya di bahu kekar Rafli.

"Kamu kenapa senyum-senyum, kakak curiga deh."

"Kakak juga kenapa nyandar di bahu aku? Tadi apa gak sempat ginian sama laki-laki itu?"

Redanti bangkit, duduk tegak dan menatap mata adiknya. Ia meraih tangan Rafli dan mengusapnya pelan.

"Aku minta ijin nikah ya Raf?"

Terdengar desah resah Redanti, ia ingin sekali Rafli mengangguk dan mengatakan bisa hadir.

"Aku tidak hanya meminta ijinmu, tapi aku ingin kamu datang Raf."

Rafli meraih tubuh kakaknya ke dalam pelukannya. Sesekali menciumi kening wanita kedua yang ia cintai setelah ibunya.

"Yah, aku akan datang."

Redanti melepas pelukannya, menatap mata adiknya dengan penuh haru lalu memeluk lagi sambil menangis terisak semakin keras. Ia bahagia akhirnya Rafli mau hadir dalam pernikahannya nanti, tak ada yang lebih membahagiakan saat kita bahagia didampingi oleh orang-orang terkasih. Tak lama Redanti melepas pelukannya, menghapus air matanya, lalu menatap Rafli.

"Kakak lupa kalo kamu belum menjawab pertanyaan kakak, kamu kenapa senyum-senyum? mana ini sampe larut lagi, pasti kencan sama Silvi kaaan?!"

Rafli mencebikkan bibirnya, lalu menggeleng dengan keras.

"Boro-boro kencan, tengkar sih iya."

Redanti terbelalak ternyata benar dugannya Rafli bertemu dengan Silvi.

"Lah bener kaaan, ketemu?"

"Iyaaa tapi kan gak sengaja, aku nabrak dia dari belakang lah salah dia kecil kan Kak, yang besar cuman dadanya aja." Rafli terkekeh, Redanti memukul bahu Rafli dengan keras.

"Huuuus ni anak ngomong sembarangan."

"Kan bener, kasihan banget badan pendek bawa barang segitu beratnya, dua lagi, coba minta tolong aku, aku bikin bantal kalo tidur pasti nyenyak."

"RAFLIIIII."

"Iya Kaaak, nggak lagi, suer deh!"

"Kakak doain kamu yang tergila-gila ke dia, bener kakak doain."

Rafli hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya dengan keras tak lama ia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Tapi tadi aku lihat Tiara juga Kak, sama suaminya, makanya aku pulang duluan, lama duduk di taman merenung, bodoh banget aku masih mikir dia, sementara dia bahagia sama suaminya, aku akan mencoba menyukai yang lain."

Redanti tersenyum lebar, ia peluk adiknya sambil merebahkan kepalanya di dada Rafli.

"Semoga menemukan jodoh terbaik adikku."

"Aamiiiiiin."

.
.
.

Ada yang berpendapat sekali kita sial maka kesialan itu akan selalu membayangi langkah kita. Kali ini Silvi mengalami kesialan ataukah anugerah. Entah mengapa hari ini Redanti kembali menyuruh Silvi ke rumahnya karena Redanti bersama Abdi melihat rumah yang akan mereka tempati berdua setelah menikah. Lanang, desainer interior, menelepon Abdi, memberitahu jika semua yang Redanti inginkan telah selesai ia kerjakan. Dan Silvi kembali mendapat tugas dari Redanti agar beberapa pekerjaan yang akan ia selesaikan dibawa ke rumahnya.

Hari telah menjelang malam saat Silvi memasuki rumah Redanti, ia terburu-buru karena ada janji dengan Neta akan bertemu di rumah Neta kembali karena menurut Neta malam ini Lanang akan menuju rumah Neta dan Neta tidak mau hanya berdua dengan Lanang.

Dan saat Silvi hendak menuju ruang kerja Redanti tanpa sengaja ia menabrak Rafli yang sepertinya baru saja selesai nge-gym, keringat yang masih basah di badannya, handuk kecil di tangan Rafli sampai jatuh, beruntung map yang Silvi peluk dengan erat, aman ditangannya. Keduanya saling menatap dengan tatapan marah.

"Apalagi? Aku lagi yang salah? Kamu sengaja kan ingin merasakan tubuh kerasku? Makanya jangan sok bilang najis, dibalik tatapan marahmu, sesungguhnya kamu menyukaiku sejak pertama melihat aku di rumah ini, iya 'kan? Matamu tidak bisa berbohong."

Silvi yang awalnya mundur, kini ia menatap Rafli dari jarak dekat, ingin rasanya ia ludahi wajah laki-laki yang kini tepat berada di depannya tapi apa daya ia kalah tinggi bahkan kini ia harus mendongak.

"Istighfar yang banyak, cowo gak waras macam kamu nggak mungkin aku sukai, aku mending cari laki-laki berwajah biasa saja tapi otaknya masih ada di tempatnya dalam posisi benar, aku akui ketampananmu juga tubuh bagusmu sempat membuat aku terpana, tapi maaf sejak aku tahu mulut comberanmu, aku harus berpikir seribu kali untuk menyukai laki-laki yang rasanya lebih pantas jadi emmak-emmak yang ... eeemmmppphhh ...."

Sedetik ... dua detik ... tiga detik akhirnya map di tangan Silvi jatuh, saat Silvi yang awalnya melawan dan memukul dada keras Rafli berulang kini diam kala bibir mungilnya diraup kasar oleh bibir Rafli, meski akhirnya sapuan lembut bibir dan lidah Rafli membuat Silvi terhipnotis, seumur hidup Silvi, ia baru tahu yang namanya ciuman memabukkan yang membawanya seolah berada diantara awan-awan nan lembut dan ia enggan turun ke bumi.

💕💕💕

Eaaak eaaaak

5 Februari 2021 ( 01.48 )

Stuck on You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang