3 - Unexpected Visitor

277 46 5
                                    

Dikarenakan ini hari terakhir syuting project warisan Sutradara Im, aku jadi agak santai. Ini proyek terbesar yang pernah aku pegang mandiri selama setahun jadi Asisten Sutradara Im.

Take-nya agak siangan, jadi aku berinisiatif untuk jenguk Sutradara Im dulu di rumah sakit pagi ini. Aku biasa bangun pagi, memang untuk joging keliling kompleks dan bantu Mama di dapur bikin sarapan. Kalau sempet. Di rumah, waktu sarapan wajib semua hadir dan makan di meja makan. Papa yang bikin peraturan itu. Dan itu menjadi satu-satunya waktu makan dalam sehari saat kami semua bisa berkumpul.

Berhubung dari pagi aku belum keluar kamar, Mama jadi bingung sendiri. Kak Jasmin yang dini hari tadi baru pulang dan bantu Mama di dapur juga ikut bertanya-tanya. Terlebih saat aku mendadak turun sudah dengan penampilan rapi saat semua siap. Biasanya aku yang paling terakhir meninggalkan rumah. Bagian ngunci pintu.

"Jia mau berangkat sekarang?" Mama bertanya heran.

"Pagi Mama, pagi Kakak. Jia mau ke rumah sakit dulu."

"Sakit, Dek?! Mau gue anter?" Lah? Malah si Kakak yang histeris. Aku menggeleng, mengangkat tangan menghentikan kepanikan lebay Kak Jasmin. Biasa, Every oldest daughter is a real drama queen. Yes, Kak Jasmin sekali.

"Enggaaaak. Mau jenguk Sutradara Im. 'Kan, sejak masuk RS tiga hari yang lalu gue belom nengokin. Tapi, boleh kalo mau nganter, Kak." Aku duduk di salah satu kursi meja makan dan menaruh tote bag ku di kaki kursi.

Dua ekspresi berbeda kudapati dari Kakak dan Mama. Yang satu lega dan yang satu lagi manyun nggak rela. Siapa lagi yang manyun kalau bukan Kakak. Tadi nawarin, dijawab malah manyun.

"Sarapan dulu sebelum berangkat, ya." Mama segera mengambil piring dan mengisinya untukku.

"Panggilin Papa sama Bang Ren, sana." 

Aku mendelik. Penindasan berkedok adik kakak ini sungguh nyata. Meskipun begitu, aku tetap berangkat juga. Bingung juga menjelaskan situasiku ini. Diusilin tiada henti sama Abang dan Kakak sampai rasanya pengen udahan, tapi kalau disuruh-suruh, tetep jalan. Emang adik idaman. Mereka saja yang kelewatan, nggak bersyukur punya aku. Huh!

Beberapa saat kemudian, kami berlima sudah duduk di meja makan. Abang kayaknya baru pulang subuh tadi, deh. Mukanya bantal banget. Mama nepuk pelan punggung tangan Abang pas mau ngambil kopi. Dengan sigap, Mama menggantinya dengan susu kedelai hangat. Hal itu tentu membuat Abang sedikit merengut.

Memangnya apa sih, enaknya minum kopi?

Cuma para pria di rumah ini yang bisa minum kopi. Yang lain lewat. Aku melirik Mama yang menggeleng melihat ekspresi Abang. Aku tahu alasan Mama kasih Abang susu kali ini, biar bisa tidur lagi habis sarapan.  Tujuannya begitu, tapi nggak tau kalau Abang memutuskan bandel dan malah mainan PS seperti biasa.

"Lo bareng Papa aja ya, Dek." Kak Jasmin mendadak menyeletuk membuat mataku membola. Kakak serius reseh. "Sama-sama ke rumah sakit ini."

"'Kan, beda rumah sakitnya," protesku. Sebenarnya, naik ojek atau taxi tak masalah buatku, tapi 'kan tadi dia yang menawari.

"Adek mau ke mana?" Papa bertanya setelah menyesap kopinya.

"Mau nengok Sutradara Im, Pap, tadi Kakak bilang mau nganter ... aduh! Sakit!" Yang bener, sih! Umur sudah  dua puluh tujuh, tapi kelakuan masih tendang-tendang kaki adeknya di bawah meja!

"Gue masih capek, loh." Kak Jasmin menampilkan muka melas.

"Gue naik ojol aja kaya biasanya." Bukan ngambek, tapi biar cepat selesai saja. Lagi pula, aku bisa badmood kalau diteruskan.

Sebenarnya aku ada mobil. Mobil second hasil kerjaku setahun ini. Cash! Walaupun dengan di penjami Mama sedikit untuk membelinya, tapi pada akhirnya kebeli. Uang Mama juga sudah kubayar lunas. Hanya saja ... gimana ya bilangnya ... aku itu ... belum punya SIM. Dua kali tes bikin SIM belum lolos. Akhirnya, mobil itu kadang dipakai Abang buat selingan. 

UNEXPECTED FEELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang