2 - Unexpexted Day For an Ordinary Girl

307 55 18
                                    

"Jia pulaaaang!"

Rumah dalam keadaan gelap saat aku sampai. Pemandangan yang amat biasa. Aku juga sudah biasa nggak menyalakan lampu. Langsung masuk, copot sepatu, copot jaket, dan langsung  ke dapur. Keluargaku?

Papa dan Mama dokter.  Selain punya klinik sendiri, mereka juga masih tugas di rumah sakit. Ini baru jam sembilan, yang mana masih kategori sore buat kami semua untuk sampai rumah. Kalau nggak ada keadaan darurat, biasanya mereka pulang sebentar lagi. Sejamlah.

Abang? Dia punya perusahaan sendiri yang bergerak di bidang hukum. Semacam firma hukum. No, Abang bukan pengacara atau hakim. Dia polisi yang sekarang jadi detektif swasta. Makanya jarang banget di rumah. Masih penasaran kenapa nama Abang Raharja di antara keluarga Andawari?

Saat bertemu Papa, Mama kebetulan janda beranak satu. Iya, Abang. Aku dan Kak Jasmin anak kandung Papa Mama. Papa baik banget, nggak pernah membedakan kita. Semua dikasih yang terbaik tanpa memandang mana anak kandung mana, anak sambung. Bahkan, Abang sudah resmi juga diadopsi Papa. Abang bisa saja ganti nama belakang sama kaya kami. Namun, Abang menolak. Katanya, itu satu-satunya peninggalan papa kandungnya, jadi dia ingin bawa warisan itu sampai nanti. Masuk akal dan Papa mengehargai keputusan Abang.

Kami rukun kok, cuma kelewat sibuk saja. Kata Papa, rumah memang begitu, saat anak-anak masih kecil, rumah rame. Teriakan, tangis, tawa, ramelah. Namun, kalo sudah gede, mereka akan sibuk sendiri-sendiri, jadi sepi. Jadi, nggak boleh protes pas rumah rame. Karena ada saatnya bakal kangen sama keramaian itu.

Aku baru selesai mandi saat pintu depan terbuka. Mungkin Mama Papa. Mereka selalu pulang bareng kalau nggak ada yang darurat. Iya, jadi anak-anak Papa Mama itu susah. Disuguhi kebucinan ortu sendiri tiap hari tiap saat. And, here I am, jomblo dari lahir. Sad girl.

Aku turun ke dapur sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Benar, dong. Mama lagi bikin teh buat mereka.

"Mama."

Mama senyum. Tahu nggak, Mama baik hati yang di drama-drama? Itu Mama. Selalu senyum dan tuturnya lembut. Jarang banget marah sampai bentak.

"Jia mau teh juga?" tawar Mama.

"Mau coklat anget boleh? Capek banget hari ini. Pengen bobo cepet."

Mama mengangguk. Mengambil satu mug lagi untu coklat hangat buatku. Aku duduk di sebelah Papa yang subuk membaca map bergantian dengan ponselnya. Aku memeluk Papa sebentar sebelum akhirnya duduk.

"Papa tumben bawa kerjaan pulang?" tanyaku masih sambil mengeringkan rambut. Lembur dan membawa pekerjaan ke rumah bukan budaya yang dicontohkan Papa di rumah ini.

"Papa besok ada operasi. Pasien rujukan. Jadi, Papa harus baca rekam medisnya bener-bener biar nggak salah," terang Papa dengan suara pelan.

Sama seperti Mama, Papa juga jarang banget marah-marah. Kalau ada yang mengganggu pikiran atau beda pendapat, Papa dan Mama selalu mengajak kami ngobrol, diskusi untuk mencari solusi dan pemahaman.

"Semangat, Papa. Ini, tehnya diminum." Aku mengangsurkan teh bikinan Mama. "Kak Jasmin belum pulang, Pap?"

"Pulang lewat tengah malem katanya, Dek." 

Kebiasaan keluarga kami, tiap kali mau pulang telat atau mau pergi ke mana pun pasti pamit langsung sama Papa Mama. Jadi, mereka selalu tahu di mana posisi anak-anaknya. Kecuali Bang Jendra. Ya kali, detektif lagi mata-matai target ijin ortunya dulu. Tapi, kalau masalah pulang telat, dia tetap ijin, kok.

"Kerjaan gimana, Dek?" Papa selalu manggil aku 'adek'. Kalau Mama, panggil nama saja. Nggak apa, nggak keberatan juga, secara aku kan memang bontot of the family.

UNEXPECTED FEELINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang