Bagian Satu

7 1 0
                                    

Pov me, Nayanika.

Namaku Nayanika, anak pertama sekaligus anak terakhir dari keluarga kaya raya, kaya harta, perhatian dan kasih sayang. Dari saking kayanya mereka membuat aku terpenjara.
Sudahlah, aku bahas tentang keluargaku nanti saja, seiring kisah ini kalian baca, mungkin juga kalian akan tahu seperti apa aku dan keluargaku.

***

"Kamu pasti juara satu." Seru Mamah di sampingku. Tidak nyaring memang tapi bagiku kalimat tersebut adalah sebuah harapan untuk anak satu-satunya ini. Sekaligus semacam permohonan yang tidak boleh dikecewakan.

Hari ini adalah hari penerimaan raport sekolah sekaligus hari terakhir aku berada di dunia putih abu-abu. Ya, sebentar lagi aku juga akan masuk di Universitas ternama.

"Papahmu pasti juga akan bangga," ucap Mamah lagi. Semakin sering harapan itu muncul, semakin takut rasa mengecewakan itu mendewa. Dalam hari shalawat beserta mantra lainnya terus terucap.

Pembawa acara mulai menaiki pentas, seharusnya hari ini aku bermain seperti hari-hari sebelumnya untuk terakhir kalinya bersama teman-teman karena setelah ini aku akan menjadi mahasiswa. Tapi sungguh tidak, pikiranku kalut untuk yang kesekian kalinya aku dibuat takut tidak dapat memberikan apa yang diinginkan oleh kedua orang tuaku.

Suara pembawa acara memicu kecepatan detak jantungku, selalu saja begitu. Bahkan membuat kepalaku berdenyut sakit karena terlalu memikirkan.

Sampai penghujung acara, namaku tidak kunjung disebut, acara selesai.

***

"Kamu yang terlalu lembut sama pendidikan dia, lihat sekarang! Bahkan juara harapan saja tidak aku dengar namanya." Lantang suara papah dari luar ruangan, aku yang ada di balik pintu hanya menekan dada untuk tidak sesak.

"Sekarang kamu menyalahkan ku? Bahkan kamu tidak pernah ada semenit pun di rumah." Mamah membalas teriakan Papah lebih lantang.

"Aku mencari uang untuk kalian berdua."

"Kami tidak butuh itu semua kami hanya butuh mas di sini bersama kita."

Prang...

Entah suara apa yang pecah intinya aku semakin takut untuk keluar menangis saja aku tidak berani. Tiba-tiba saja aku berteriak berharap papah dan mama mendengar dan menghampiriku. Aku tahu di depan mereka akan bersikap manis dan romantis, aku sudah muak. Tapi aku tetap menjalaninya. Sejak aku tahu keluargaku tidak pernah romantis ataupun harmonis sejak itu pula aku benci keduanya, namun sayang aku lebih naif dari mereka aku juga berpura-pura tidak tahu apa-apa dan menjalaninya semua kepalsuan itu.
Tidak lama mereka datang dengan takut namun aku tersenyum kecut.
"Ada apa sayang?" Mamah melihatku tampak cemas.

"Cicak masuk tasku mah,  aku sangat takut," rengekku seakan-akan itu benar-benar terjadi.

Raut keduanya berubah tenang.
Bulshit, aku hidup dengan pura-pura bahagia, pura-pura memiliki semuanya. Kasih sayang serta harta sekaligus. Namun sekali lagi, semuanya palsu.

Kamu Kuat, Kamu HebatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang