Bagian Dua

6 0 0
                                    

Setelah akhirnya aku dinyatakan lulus maka untuk beberapa hari ke depan aku bisa bersantai ria. Untuk masalah kuliah aku sudah merencanakan dengan baik jauh sebelum hari ini, tinggal bagaimana aku menyampaikan kepada papah dan Mamah.

Di dalam kepala berisi dialog penyampaian. Layaknya akan tampil di sebuah pentas naskah satu dengan satu lainnya berebut untuk berada di posisi paling diingat, aku yang sedang duduk di depan kaca rias menatap jauh ke dalam mata sendiri, selama ini aku tidak benar-benar bahagia.

Sambil menata riasan di wajah, kepalaku juga menyiapkan dialog lain, alih-alih untuk menyelamatkan diri dari pertanyaan beruntun  mamah. Sekarang aku sudah dewasa, aku juga punya hak menghabiskan waktu bersama teman-teman setelah sekian tahun kenal hanya berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok.

Dulu, sebelum aku tahu semuanya, aku sepertinya bangga memiliki papah mamah yang baik, keluarga harmonis, rukun dan kasih sayang mereka yang terkadang membuat teman-temanku iri. Papah memang jarang di rumah tapi bukan berarti tidak memberi kabar atau menanyakan kabar kami setiap hari pun dengan mama yang dari kebanyakan cerita, orang seorang istri jika ditinggal jauh suaminya akan merasa kesepian, itu mengapa banyak suami istri selingkuh di belakang bahkan ada yang terang-terangan. Menurutku, mamah papah ku hebat.

"Wah, anak mamah rapi sekali, mau ke mana?" Suara itu membuatku menoleh. Ah, papah mamah akan keluar masuk kamarku dengan bebas, tanpa mengetuk pintu atau bertanya dari luar aku sedang apa. Semenjak kejadian aku terkunci hingga pingsan karena malam itu hujan lebat, lampu tiba-tiba mati, aku yang takut gelap tidak bisa meng kondisikan ketakutan.

"Anu, ini mah teman-teman mau berkumpul, tukar kado gitu, katanya biar kita bisa ingat satu sama lain," jawabku lancar. Aku melafalkan kalimat itu dengan baik.

"Bukankah kemaren sudah?" Selidik Mamah.

Aku menghela nafas dan mencari alasan lain supaya bisa keluar. Memang, agenda tukar kado sudah sebulan sebelum hari perpisahan.

"Itu kan sama teman sekelas mah."

"Lalu, sekarang sama siapa?"

"Sahabat-sahabat ku, teman baikku."

Wajah ku memelas tapi tidak dengan Mamah yang menatap tidak setuju.

Dulu, aku akan manut jika mamah tidak mengizinkan karena aku tahu aku adalah anak satu-satunya. Tapi itu dulu, tidak untuk sekarang.

" kenapa kalau teman-temanmu ke sini saja mamah akan siapkan
makanan enak," tawar mamah lagi ini jelas permintaan izin ku ditolak.

"Mah, sekali ini saja." Wajahku kali ini benar-benar memelas dan mama hanya menggeleng ditambah senyuman yang membuatku semakin muak. Tapi aku sungguh tidak bisa marah.

" nanti kalau papah marah, bagaimana?" Kali ini suara itu terdengar takut ini untuk pertama kalinya. Apakah mamah juga tertekan dengan semua ini dengan ke pura-pura an tanpa tahu kapan akhirnya.

"Mamah rahasiakan ini," jawabku cepat.

"Tidak sayang, bagaimanapun papahmu harus tahu setiap perkembangan mu dan apa yang sedang kamu lakukan."

"Termasuk aku mau ke mana, dengan siapa dan apa yang aku lakukan? Kenapa tidak sekalian sertakan CCTV, pelacak keberadaan, penyadap suara. Mah, aku juga butuh refreshing, jalan sama teman-teman, punya kenangan, bukan hanya di rumah sampai berjamur begini. Di kamar saja. Aku capek mah, Nika capek. Nika sudah gede'." Kini emosi ku meluap tidak peduli dengan riasan yang tadi aku buat sebagus mungkin.

"Kamu mau tahu kenapa?" Suaranya tertekan menahan amarah.

"Kenapa?" Jawab ku lantang tiba-tiba nafasku niluh aku tidak pernah melawan mamah barang sekatapun.

" karena mereka akan merusak masa depan mu Nik, mereka hidupnya tidak beraturan, berantakan dan tidak akan memiliki masa depan. Hidup mereka hanya bersenang-senang dan bermain kamu tidak boleh seperti mereka, kamu harus menjadi orang sukses pintar dan kaya itu saja." Jawaban mamah benar-benar membuatku hilang akal, aku baru tahu mamah yang selama ini bijak di depanku ternyata memandang rendah orang lain.

Bersama air mata yang aku usap dengan kasar aku bersusah payah mengembalikan akan ku dan menatap marah pada mamah.

"Itu saja? Itu saja mamah bilang? Aku harus menjadi juara satu, harus balajar tanpa mengenal waktu, masa kanak-kanak yang seharusnya berinteraksi dan mengenal sekitar dengan sendirinya dihilangin oleh harus ini dan itu. Mamah bilang itu saja? Bahkan aku tidak ada waktu bersama teman-teman. Pulang cepat waktu, bermain hp dibatasi, berteman pula halnya dengan mereka yang pintar. Lalu itu yang mamah sebut itu saja? Sejarah tidak langsung mamah telah merampas kebahagiaanku merusak mental dan psikologis ku. Mah, aku bukan Nika yang dulu. Nikah yang tidak tahu apa-apa tentang keluarga ini. Sekarang, Nika sudah tahu semuanya mah. Nika tahu." Tangisku melemah di akhir kalimat. Kaki ini sudah tidak lagi dapat menyanggah berat badanku. Aku luruh di lantai diikuti dengan gerakan cepat sang mamah.

"Nika, Nika lihat mamah sayang, lihat mamah. Apa yang kamu katakan?"
Tangannya memeluk erat tubuhku. Kami melanjutkan tangis tanpa lagi melanjutkan kata-kata lain selain kata maaf yang terucap dari mulut mamah.

Di lubuk yang paling dalam batinku mengutuk lebih keras. ' kamu menyakiti mamah mu Nik. Seorang ibu yang membesarkan dan merawat mu tanpa pamrih.' Pun di lain bising, ego mencoba membenarkan apa yang dilakukan Nika. Mamahnya pantes mendapatkan itu semua.

Kamu Kuat, Kamu HebatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang