Pagi ini saya terbangun karena bisingnya suara burung sedang beradu siapa paling merdu dari luar jendela. Menyisakan saya menggeliat di balik selimut bulu warna kelabu pemberianmu, lembut sekali, buat saya enggan beranjak.
Dengan rambut kusut dan kacamata bulat bertengger di hidung bangir itu kamu mendorong daun pintu, bawa secangkir coklat jahe hangat kesukaan saya. Tanpa ada roti karena kamu tahu saya malas mengunyah pagi-pagi.
"Selamat pagi," ucapmu seraya acuhkan cangkir yang kamu bawa di atas nakas, beralih tangan besarmu buat rambut panjang saya makin serupa sarang burung, "ingin sarapan apa? Ya walau hanya ada roti dan selai strawberry di dalam kulkas."
Saya hanya tersenyum saat kamu jawab pertanyaanmu sendiri. Aneh. Tapi itu baru satu dari banyaknya kebiasaan unikmu. Kini giliran saya acuhkan kamu, asap tipis dari cangkir putih bercorak ungu abstrak itu saya tiup sebelum larutan hangat itu terteguk.
Hangat. Kamu kurang suka, rasa jahenya mengganggu katamu.
Saya beranjak. Begitu tirai terbelah dua, semesta suguhkan elok paginya. Bunga matahari yang kamu tanam sebulan lalu kini bermekaran, buat lebah menari disana. Ada sepasang kupu-kupu tengah adu rayu, kepakkan sayap menjauh dari jendela sebelum saya jangkau.
"Kamu suka?" kamu sadarkan saya jika kita sedang menjauh dari pusat keramaian, bukan, lebih tepatnya kamu yang membawa saya kemari.
Ajak saya raib dari segala hiruk bunyi klakson dan cerewetnya mesin ketik. Saya anggukan kepala petanda setuju, saya suka raib, pergi jauh. Dengan kamu.
Sesampainya di lantai dasar rumah ini, meja dapur kamu sulap sedemikian rupa. Dua piring roti bakar yang nyaris hangus. Tidak apa, setidaknya usahamu bangun lebih pagi tidak sia-sia. Masing masing dua di tiap piring, dua untukmu tentunya tanpa bagian pinggir kecoklatan dan dua lagi untuk saya.
Kamu habiskan dua lembar roti lebih dulu, padahal saya masih mengunyah setengah dari roti pertama saya. Saya suka pipimu menggembung penuh, dari pada kurus dengan menjiplak jelas tulang belulang yang katamu itu keren.
Selepas sarapan, kebun strawberry milik saudagar daerah ini jadi tujuannya. "Ayo buat roti strawberry, pai strawberry, dan susu strawberry dingin." astaga, segila itu kamu.
Jangan lupa dengan mata bulatmu yang kian membesar begitu melihat buah merah itu bergelantungan disana-sini. Kamu berlarian membawa banyak strawberry dengan bantuan kausmu jadi keranjang dadakan.
Nyaris menginjak tengah hari kita pulang dengar satu keranjang penuh. Satu tanganmu bawa keranjang dan yang lain apit jemari saya isi rongga jemarimu. Kita habiskan tengah hari di ruang tamu, menyalakan televisi temani kamu habiskan semangkuk biji bunga matahari, sedangkan saya tidur di atas sofa sembari memainkan rambut ikalmu.
Ah, saya tertidur. Sendirian, bersama televisi yang masih menyala dan semangkuk kulit biji bunga matahari di atas meja. Saya pergi ke kamar untuk segarkan badan, tapi pun tidak temukan kamu di kamar saya.
Saya menatap bayangan gadis dengan gaun selutut berwarna kuning lembut, gaun yang manis. Ia biarkan surai legamnya tergerai bebas. Agak canggung karena ia belum pernah bersolek semanis itu, yang mana bayangan itu milik saya sendiri.
"Tae," panggilan saya menggema tanpa sahutan, kamu buat saya mencari dari sudut ke sudut. Nihil.
Kamu kemana?
Saya benci sendiri. Kamu pulang tanpa ajak saya bersamamu. Saya tidak suka. Mata saya memanas sekarang, mengundang pening tiap saya takut sendirian.
"Tae?!" suara saya makin lantang, semoga tidak bergetar karena saya mulai kacau.
Saya lari menuju pintu belakang, berharap kamu disana sedang berkutat dengan miniatur rumah yang selalu kamu rakit tapi enggan kamu selesaikan. Menemukan kamu sedang tersenyum bodoh dan segera minta maaf karena buat saya serupa induk ayam kehilangan satu anaknya.
Tapi yang saya temukan bukan kamu, melainkan gazebo yang sebelumnya hanya kita jadikan tempat bersantai, kini berubah menjadi tempat paling hangat.
Ada beberapa lentera dan lilin kecil bentuk jalan setapak. Di atas meja kayu beralas kain persegi merah pekat, ada kue menyambut saya disana, ia manis sekali. Krim bercampur dengan potongan strawberry berantakan di sela-sela roti coklatnya. Bermahkotakan strawberry besar, dia sempurna.
Ditemani dua gelas jus strawberry karena saya dan kamu sama-sama tidak tawar alkohol. Rungu saya tangkap gemerisik saat balik ke muasal suara saya temukan kamu. Menimang bunga matahari yang kamu selimuti dengan kertas warna kokoa, pita hitam buatnya aman agar tidak berhamburan.
"Kemana saja kamu?" tanya saya yang pada akhirnya bumbungan murka tadi telah menguap.
Lancang sekali ain gagakmu bersuara 'maaf buat kamu khawatir.'
"Segeralah biasa untuk sendiri, saya tidak suka kamu menangis," kamu menjeda dengan basahi bibirmu sendiri, "saya ini hanya bentuk semu yang buat kamu tidak percaya dengan apa yang kamu bisa. Kamu bisa lebih dari yang kamu tahu, kamu hanya terlalu banyak memberi batas untuk jiwamu yang bebas, dan saya tidak suka itu."
Keparat. Kurang ajar kamu Kim.
"Bangun dan segera ti–"
"Lantas saya harus bagaimana agar kamu disini lebih lama?! Saya sendirian, Tae!"
Curang, kamu peluk semua nestapa saya tanpa perbolehkan saya serakah untuk miliki kamu.
"Kapan kamu sendiri? Kamu terlalu mencintai tempurungmu dan menutup mata dari cinta semesta yang memelukmu. Bangun dan segera tiup lilinnya."
Saya ambruk. Terbuang jauh kedalam gelap yang hampa. Sendirian. Kamu hilang. Raib, tanpa ajak saya bersamamu.
Pendar lampu ciutkan retina saya. Hanya ada kue strawberry yang temani saya disini. Lilinnya sudah habis setengah dimakan api kecil bergoyang ditiup angin, saya lupa tutup jendela kamar.
Sesuai permintaanmu. Saya tiup lilin kecil itu.
Fuuhh
Mati.
'Selamat ulang tahun, Vi. Semesta mencintaimu.'
Ya, saya masih acap dengar suaramu. Ragamu tertimbun, membawa sebagian dari diri saya untuk bersemayam bersama kamu. Masih sangat jelas bagaimana pagi itu kamu tersenyum paling tulus dengan mata enggan lagi terbuka.
Meninggalkan saya setelah jeritan panjang mesin menandakan kamu malas untuk sekedar bernafas. Biarkan saya tertatih untuk meniup lebih banyak lilin tanpa kamu.
sekian–