p.s : coba pakai dialog yang lebih santai, tapi deskripsi bahasa baku hahaha. semoga kalian tetep enjoy♡
Jarum panjang bersarang tepat pada angka sembilan yang sejajar dengan jarum lainnya. Sedikit bergerak menuju angka sepuluh sebab dikejar decak jarum hitam yang bisingnya memenuhi kedai. Perempuan dengan apron merah maroon dibalik etalase melepas ikat rambut untuk meringankan rasa pening akibat rema panjangnya tercekik seharian.
Sebelum beranjak, ia kembali memastikan meja dan kursi sudah tertata rapi, lantai bersih tanpa bercak jejak telapak, serta rolling door terkunci dengan sempurna. Nitara meraih tas kanvas cokelat yang ia beli di toko manik-manik milik sepasang suami-istri berdarah Tionghoa saat ia libur akhir pekan lalu, menukarnya dengan apron merah untuk digantung dan dipakai lagi esok hari.
Setelah arus listrik dipadamkan Nitara mengunci pintu belakang lantas berjalan menjauh dengan langkah gontai. Hari ini kedai cukup ramai hingga ia hanya sempat meneguk segelas cokelat dingin buatan Johan, satu shift dengan pemuda jakung itu memang menyenagkan sekaligus melelahkan.
Menyenangkannya adalah Johan rekan kerja yang cekatan, dia bisa mengendalikkan atmosfer kedai bila pengunjung datang secara berbondong. Tak jarang juga sekawannya meramaikan kedai dengan memainkan dawai serta menyumbang suara merdu hingga kedai tutup. Melelahkannya, kedai akan banjir pelanggan hingga semua meja penuh dan didominasi kaum hawa untuk sekedar memesan kudapan dan segelas cokelat dingin kebanggaan kedai ini.
Sesampainya di depan pintu kamar kos Nitara memijat pelipis atas kecerobohannya tidak membeli roti untuk mengganjal suara perut yang sedari tadi meraung. Nitara enggan untuk mencari minimarket terdekat, ia hanya ingin segera merebahkan tubuh letihnya. Hidup sendiri di kota orang bukan perihal sulit bagi Nitara, hanya saja dia sering mengabaikan cacing di dalam perutnya.
Dalam lemari es hanya ada sebotol air mineral dan empat keping biskuit cokelat yang ia beli pagi tadi. Rasa penat lebih menggelayuti bahu Nitara untuk terlentang diatas tilam, matanya mengerjap pelan sebelum tepejam sedikit lama.
"Males banget balik keluar. Sabar ya, rebahan dulu nih punggung cape banget." gumamnya pelan pada riuk perut yang kian berisik.
Kedap dinding kamar menyumbangkan lolongan pengendara meskipun hari semakin larut. Riuhnya merambat ke dalam kepala, penuh sesak siap pecah kapan saja namun urung sebab Nitara memilih bungkam dan terjaga hingga kantuk melelapkannya pukul tiga lantas kembali terusik pekikan alarm pukul enam.
Lingkaran hidup Nitara dipenuhi rutinitas menyebalkan, baginya, seperti memulai hari dengan kelas Sistem Simulasi. Menyandang gelar sebagai mahasiswa semester lima membuatnya semakin sesak membagi waktu untuk sekedar bernafas diantara dua peran yang ia jalani.
Bualan ayah perihal kelak saat Nitara dewasa ia bisa melanjutkan pendidikan di bidang pastry atau psikologi nyatanya harus ditukar dengan rumus dan angka. Nitara harus berusaha lebih untuk menyetarakan pemahaman darimana asal deretan angka pada layar monitor.
Kelas masih sepi. Angka yang tertera pada layar kunci ponsel menujukkan pukul 06.45 sedangkan kelas dimulai pukul tujuh, itupun akan mundur hingga sepuluh menit kemudian sampai dipenuhi orang-orang dalam daftar absensi. Tak lama dosen datang bersama seorang mahasiswa yang duduk di deret seberang. Perlahan kelas mulai terisi dengan kurang dari seperempat penghuninya.
"Sendirian aja?" warna suara yang Nitara tahu siapa pemiliknya. Wangi kafein cepat endapi penciuman kala pemuda dengan kemeja kelabu mengisi kursi kosong disampingnya.
"Iya." balas Nitara cepat. Bola matanya mengekor pada pria nyaris setengah abad di depan kelas yang masih bergumam sebab layar LCD tak kunjung memantulkan materi untuk kelas pagi ini.