Prelude

29 3 0
                                    

Notifikasi pesan terdengar memberondong ponselku saat kuda besi yang kami naiki mengarah ke gang rumah.

Halah …bisa ditebak. Itu paling cuma ocehan panjang nggak penting dari teman kelas. Bisa-bisanya waktu singkat mereka habiskan untuk berbalas cuitan yang nggak jelas.

Jalan yang kami tempuh harus molor sedikit lebih lama, mengingat jam pulang kerja. Waktu di mana para pengguna jalan saling menyalip untuk cepat-cepat tiba di rumah. Guna membersihkan diri setelah seharian berkutat dengan dunia kerja, menyambung waktu hari yang tersisa bersama family tercinta, atau bahkan sampai rumah pun masih harus berlanjut berjibaku dengan pekerjaan rumah seabrek yang melambai-lambai untuk segera disentuh.

Beruntungnya, kali ini Ibu yang nyetir. Kalo aku yang bawa mobil, sudah kupastikan kami sampai rumah setidaknya dua puluh menit lebih cepat.

“Bu, aku istirahat sebentar, ya.” Aku menutup pintu setelah turun dari mobil.

Ibu masih harus sibuk memarkir mobil ke garasi. Sebagai bentuk tanggung jawab, kali ini Ibu merelakan visit toko beliau demi mengantar putri sebijinya ke rumah sakit.

“Aduh …itu pelan-pelan jalannya, Mbak. Nanti perbannya mengslek.” Suara khawatir ibu menggema tatkala melihatku yang sedikit berlarian membuka pintu dan segera masuk ke rumah.

Bagus, Tya! Bisa-bisanya kamu bertingkah seperti Hely di saat bekas operasi satu minggu lalu belum menutup. Tapi, Bu, mana bisa …ini udah di ujung banget. Nggak lucu kalo aku mendadak ngompol di teras.

“Jangan lupa cuci tangan dulu,” sambung Ibu memperingati ketika memastikan aku sudah berjalan dengan benar.

Aku lantas melesat ke kamar. Meletakkan sling bag dan diamond square yang kulepas ke sembarang arah. Sudahlah, nanti bisa aku bereskan, yang kubutuhkan sekarang adalah membuang cairan sisa yang berhasil dieksresikan oleh ginjal dalam tubuhku dari minuman kaleng tadi.

Dari dulu, aku selalu beranggapan bahwa kandung kemih milikku adalah yang terkecil di dunia. Ya, bagaimana tidak? Baru minum setengah gelas kecil, saluran kemihku sudah bekerja dengan giat. Lalu beberapa menit kemudian memaksa untuk segera dibuang. Mungkin, sangking nggak muatnya menampung cairan urin yang nggak seberapa itu. Untung saja, aku adalah tipe orang yang bisa makan tanpa minum.

Sudah, ya. Mari lupakan soal sistem urogenital.

Aku merebahkan diri. Membuka gawai. Pesan yang semula kukira dari grup chat 'Pejuang Toga', nyatanya memang benar.

Tuh ‘kan, mereka berbalas pesan yang nggak berfaedah. Maksudku, belum cukupkah banyolan yang mereka lontarkan setiap bertemu—di kelas—sampai-sampai harus mereka lanjutkan pula di grup chat kelas yang bukankah seharusnya digunakan dengan baik—untuk membahas tugas-tugas makul gitu.

Lalu, saat aku scroll-down ada dua pesan menyelip di sana yang berasal dari sederet nomor yang tidak aku kenal.

082112456209
Sore…
Sudah sampai rumah, Dek?

Akal sehatku berputar mencoba mengingat-ingat sesuatu. Apakah aku beberapa waktu terakhir ini memberikan nomor ponsel pada orang baru atau mungkin itu nomor kenalanku yang belum sempat aku save.

Tapi, nihil. Semua kontak temanku sudah bernama. Terus …aku tidak ada tuh membeberkan nomor cuma-cuma.

Pesan itu berakhir dengan tanda terbaca. Aku tidak tertarik untuk menanggapi. Pun tidak ada kewajiban untuk membalas. Kalaupun penting, nanti toh juga akan to the poin memperkenalkan diri dan menyampaikan maksudnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

En(d)counterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang