"PUNTEEEN! PERMISIIII!"
"Siapa tuh yang teriak 'punten'?" tanya yang Joy tengah mengikir kukunya di dipan belakang, dirasa sudah beres, dia langsung berjalan ke depan Adipati, diikuti Rendy, Lino dan Kalla.
Begitu mereka sampai di depan, keempatnya disambut banyak anak – anak berumur sekitar 3 – 10 tahun. Beberapa membawa rantang, bahkan bakul dan karung.
"Dadan? Ada apa? Kan hari ini kita gak ada janji main?" tanya Lino, pada salah seorang anak di sana.
"Iya, kemaren Kakak udah bilang, kalo itu terakhir kalinya kita main," tambah Rendy.
"Bukan, Kak. Aku mau sama yang lain bukan mau ngajak main," jawab anak bernama Dadan.
"Kita di sini mau ngasih ini," anak lainnya menyodorkan barang yang mereka bawa.
"Ini semua buat Kakak – Kakak Mahasiswa," jelas yang lain, kali ini anak perempuan.
"Buat kita?" bingung Joy menerima rantang dari anak – anak, gadis itu melirik Lino, Rendy dan Kalla meminta ketiga lelaki itu untuk bertanya lebih banyak.
"Ada apa? Kok rame?" tanya Wendy datang dari dalam, diikuti yang lain.
Semua bertigabelas berdatangan dari halaman maupun dari dalam, mereka semua berkumpul dengan anak – anak di depan. Penasaran ada apa, sampai anak – anak yang biasanya memenuhi lapangan itu kini ada di depan Adipati.
"Ini adek – adek ada apa?" tanya Juan.
Rendy menggeleng, "mereka mau ngasih itu katanya," tunjuk lelaki itu dengan dagunya pada barang – barang yang dibawa anak – anak.
"Buat kita gimana? Ini dari siapa, Dan?" tanya Kalla masih tak paham.
Dadan, yang tampaknya anak paling besar dan Pemimpin di sana pun menjelaskan.
"Ini dari Ambu, Mamak, Emak, sama Bi Diah. Ada juga dari Pak Rahmat, sama Pak Cepi. Aku, Siti, Hadi, sama yang lain di sini disuruh buat nganterin ini ke Kakak – Kakak di Adipati. Katanya, ini ucapan terima kasih."
"Ini, Kak," sodor Dadan, sebuah karung cukup berat ia serahkan pada Lino.
Anak – anak yang lain mengikuti memberikan barang – barang yang mereka bawa. Semua itu diterima bertigabelas dengan wajah masih bingung.
"Ini.. banyak banget," ujar Arin memeriksa kresek yang ia terima. Isinya kerupuk kering yang siap goreng.
Pun yang lain mengikuti melihat isinya. Ada sekarung ubi, beberapa sikat pisang, gorengan yang masih panas, bahkan gilingan teh segar hasil produksi rumahan.
"Bener ini orang tua kalian yang kasih? Ini gak kebanyakan?" tanya Wendy.
Semua anak – anak di sana menggeleng.
"Emang dikasihnya segitu kok," balas Dadan.
"Berkat Kakak – Kakak di sini, sekarang aku bisa mandi sebelum sekolah. Bisa mandi sore pake air bersih," terang Siti dengan senyum manisnya, meski satu giginya tampak tanggal di depan.
"Sekarang Bapak gak perlu capek jalan ke pasar, dia bisa jual pisang di koperasi, kakinya gak sakit lagi kalo malem, Kak," tambah anak berkaos ungu, bernama Ibnu.
"Iya! Terus sekarang rumah aku bersih, gak ada sampah. Gak bau lagi kalo malem mau belajar," tutur anak bernama Ijal.
"Aku malah bisa beli buku sama ikut ujian madrasah, soalnya Bapak dapet uang dari jual ubi di koperasi," cerita anak bernama Dian dengan rambutnya yang dikuncir asal.
"Iya, Dian gak jadi keluar madrasah karena bisa ikut ujian sekarang! Aku jadi tetep punya temen di sana," tambah Siti senang.
"Oiya. Sepatu bolong yang waktu itu dibenerin Kak Rendy, sekarang udah gak dipake lagi," ujar Ijal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTIGABELAS | 47 Days With Them✔ [OPEN PO check IG allyoori]
General Fiction[B E R T I G A B E L A S] ▪︎selesai▪︎ • College but not about collegelife in campus • Semi-baku • Lokal AU 13 orang terpilih dari dua perguruan tinggi berbeda, untuk hidup bersama selama 47 hari kedepan dalam sebuah rumah yang terletak di dusun terp...