Kesibukkan di Hari Minggu?

14 1 0
                                    

Pagi ini matahari sepertinya terlalu enggan menampakkan wujudnya, lebih senang berada di balik awan-awan. Sedangkan cucian baju yang akan dijemur begitu banyak. Belum juga sepatu anak-anak yang besok akan segera digunakan kembali.

"Mungkin nanti siang mataharinya akan terlihat," ucap seseorang yang sedang berdiri di depan jemuran sambil memeluk sebuah keranjang berisi baju, matanya menyipit untuk mencari di mana letak matahari. Diturunkannya keranjang dari dekapannya lalu tangannya mulai menggantungkan pakaian di jemuran dengan harapan cucian baju maupun sepatu dapat kering.

Tidak membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan aktivitasnya bagi seorang wanita yang terbiasa menjemur pakaiannya sendiri sedari kecil. Safeeya segera meletakkan keranjang pakaian di teras halaman belakang sembari menggeser pintu kaca untuk masuk ke bagian dalam rumah. Dinginnya lantai marmer yang berdominan warna putih langsung terasa saat kaki Safeeya melepas sendal luar dan memijak ruang tengah, tempat di mana dia dan keluarganya menikmati setiap momen kebersamaan.

"Bu, kok tidak bilang mau menjemur? 'Kan bisa dibantu menjemurnya sama aku dan Kak Razzan."

Seorang gadis dengan rambut hitam legam yang dikuncir satu muncul dari dapur, ada sedikit peluh yang mengalir melewati alis tebal dan hidung mancungnya, sepertinya dia baru saja selesai memasak dilihat dari celemek yang sedang disampirkan di lengan kanannya.

"Lho, 'kan Haura sama Razzan tadi sedang memasak untuk sarapan, itu juga sudah sangat membantu Ibu kok," ucap Safeeya.

"Razzan, tolong panggilkan ayah dan Reyhan untuk segera turun. Kalau adikmu susah dibangunkan, katakan saja nanti tidak Ibu beri izin untuk bermain laptop sampai malam lagi."

Razzan mengangguk, kakinya yang panjang melangkah dengan lebar dan berlari menaiki tangga. Rambut hitam sedikit ikalnya bergerak kesana kemari, bahkan terkadang menutupi alis tebal dan dahinya, menandakan ciri khas anak kuliah yang tidak terlalu mementingkan tentang rambutnya yang sudah semakin panjang (walaupun sebenarnya dia sudah kena tegur untuk segera memangkas rambutnya).

Sembari menunggu anggota keluarga yang lain turun menuju ruang makan, Safeeya sibuk menata alat makan di meja makan. Dia tersenyum melihat menu sarapan yang terhidang hari ini, putrinya sudah mampu mengolah bahan makanan dapur walaupun masih dibantu dengan anak sulungnya.

"Bu, kata bang Razzan sarapannya dengan udang saus tiram? Tetapi aku tidak mencium aroma khas yang biasanya sampai ke kamarku," ucap si Bungsu yang baru saja datang dengan rambut acak-acakan, tangannya yang kiri mengucek matanya yang besar dan tangan sebelahnya menarik kursi meja makan.

"Masa sih? Mungkin hidungmu yang bermasalah, atau mungkin karena kau terlalu nyenyak akibat tadi malam tidurnya sangat larut sampai-sampai Subuh pun terlewat," sindir Safeeya, Reyhan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa malu.

"Wah, tampaknya masakan kali ini ada yang sedikit berbeda dan lebih menarik. Siapakah dalang di balik menu sarapan hari ini?"

Tentu saja Yasser sudah tau bahwa anak putri satu-satunya lah yang telah membuat sarapan, dia hanya berusaha memberi sebuah apresiasi. Mimik mukanya pun menunjukkan bahwa dia terkesima dengan makanan yang telah terhidang di atas meja makan.

"Anak gadismu ini akhirnya tidak hanya pandai mematut diri di depan cermin." Safeeya mengerlingkan matanya pada Haura.

"Oh pantas saja wanginya tidak semerbak, aku jadi meragukan rasanya. Jangan-jangan tidak seenak yang biasanya dibuat oleh ibu." Reyhan menatap jail kakaknya yang awalnya sedang tersenyum malu lalu menatap sengit kepadanya.

Gelak tawa terdengar di ruang makan sebelum akhirnya hening karena semuanya sibuk melahap jatah sarapannya masing-masing.

***

"Bu, boleh tolong setrikakan kemeja Ayah tidak yang warna biru tua? Hampir saja Ayah lupa hari ini ada janji dengan pasien," ucap Yasser yang sedang mengambil handuk di jemuran, jalannya terlihat sedikit tergesa-gesa.

"Tumben sekali hari Minggu seperti ini?" tanya Safeeya, alisnya sedikit mengkerut, matanya pun masih terpaku dengan buku bacaannya.

"Dia itu pasien yang kemarin sempat menelpon langsung ke Ayah untuk meminta surat rujukan karena rumah sakit di tempatku ternyata belum menyediakan alat untuk bedahnya," jawab Yasser. "Ayah mau mandi dulu, tolong ya kemejanya."

Safeeya segera beranjak dari duduknya, ada rasa aneh yang menyergap hatinya sejak beberapa minggu terakhir setiap suaminya berangkat di hari Minggu. Namun perasaan itu segera ditepiskannya jauh-jauh, itu hanya prasangka belaka pikirnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung berjalan menuju halaman belakang untuk mengambil kemeja biru tua milik suaminya dari jemuran.

"Reyhan, tolong pindahkan sepatu yang sedang dijemur, sepertinya sudah kering." teriak Safeeya yang sekarang sedang menyetrika kemeja.

Reyhan mengentikan game yang sedang dia mainkan lalu segera beranjak dari kursinya. Saat akan keluar dari kamar, dia menyempatkan diri untuk membuka pintu kamar mandi dan memandangi pantulannya di cermin kamar mandi.

"Kira-kira nanti SMA akan ada yang meledekku tidak ya kalau tahu aku ini seorang laki-laki tapi belum pernah berpacaran." gumam Reyhan sambil memangutkan dagunya, seumur-umur dia belum pernah merasakan menjalin hubungan lebih dengan teman perempuannya walaupun dia sedang merasa suka dengan seseorang. 

Bukan, bukan karena rupanya yang dirasa kurang tampan, tetapi nasihat orang tuanya lah yang tidak pernah bisa lepas dari ingatannya sehingga dia berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa tentang perasaannya.

"Kalau dirasa belum mampu memahami cara membahagiakan diri sendiri, jangan sampai menjalin sebuah hubungan yang nantinya malah merusak kebahagiaan orang lain."

Dan itu hanya sebagian dari isi nasihat orangtuanya -lebih tepatnya ibunya.

Reyhan Dziyab, seorang laki-laki yang sedang menginjak kelas tiga di sebuah SMP dan sebentar lagi genap usia 15 tahun. Orangnya menyenangkan dan sangat suka bersenda gurau dibanding saudaranya yang lain. Ukuran tinggi badannya sudah melebihi kakak perempuannya yang akan segera lulus dari SMA, padahal dia adalah anak terakhir. Warna kulitnya lebih gelap dibanding semua kakaknya, tapi hidung mancung dan alis tebalnya tetap memperlihatkan bahwa faktor genetik yang dibawa oleh ayahnya menunjukkan kemiripan dia dengan saudaranya yang lain. Bibirnya yang merekah setiap kali tersenyum mampu membuatnya dikenang di berbagai ingatan orang-orang. Memang tak bisa dipungkiri senyumnya sangat manis, apalagi jika sedang tertawa akan terlihat lesung pipit di pipi kirinya.

"Tidak perlu banyak mengaca, lagian tidak akan bertemu siapa-siapa juga di halaman belakang," teriak Safeeya lagi yang langsung membuyarkan fokus Reyhan, sudah hafal betul dia tentang kebiasaan anak bungsunya yang tidak bisa jika tidak mengaca sebelum keluar kamar. Reyhan sempat tertawa sendiri sebelum akhirnya keluar kamar.

"Aku 'kan cowok, harus selalu terlihat tampan Bu!" balas Reyhan sebelum dia berlari menuju halaman belakang untuk menghindari omelan ibunya.


****
Halo!
Ini karya pertama buatanku.  Semoga banyak yang suka!

Jangan lupa untuk votenya hihi.

The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang