Titipan dari Kalimantan

9 1 0
                                    

20 Tahun Lalu.

"Eh Kak Sya, Kak Sya! Ini ada titipan oleh-oleh makanan dari Kalimantan."

Safeeya yang sedang berjalan ke arah kelasnya segera terhenti dan membalikkan badan untuk melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Matanya membulat seperti seseorang yang baru saja melihat hantu. 

Bagaimana dia tidak terkejut, beberapa langkah di hadapannya ada seorang lelaki yang masih berpakaian seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur. Sarungnya pun tidak dipasang sebagaimana harusnya (bahkan lebih mirip seorang perampok yang memakai sarung untuk menutupi wajahnya), belum kaus putih yang biasanya dipakai oleh bapak-bapak ketika sedang bersantai.

"Kamu ini! Bagaimana kalau ada guru yang melihat?" tanya Safeeya sambil menengok ke kanan dan kiri beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang melihat ketika lelaki itu mulai berjalan mendekatinya.

Lelaki yang baru saja memanggil Safeeya terkekeh tanpa merasa bersalah sama sekali, diturunkannya sedikit bagian sarung yang menutupi setengah mukanya. 

"Untung saja prediksiku benar kalau seorang Kak Safeeya pasti berangkat sangat pagi," ujar si lelaki tersebut sambil menepuk dadanya sendiri, merasa bangga.

"Iya ada apa Aydan?" tanya Safeeya cepat, tidak mau berlama-lama berdua dengan seorang laki-laki di sekolahnya yang masih sangat sepi, atau bahkan baru ada mereka dan satpam.

Aydan segera mengeluarkan sesuatu dari balik sarungnya, tampak paper bag berwarna cokelat dengan sebuah tulisan, atau lebih tepatnya sebuah merek pakaian terkenal. Lalu dia merogoh lagi sesuatu yang sepertinya berada di saku celana yang dipakainya dengan tangan yang satunya, dikeluarkannya sepucuk surat. 

Safeeya segera menerima barang dan surat yang diberikan oleh Aydan. "Sampaikan ucapan terima kasih dariku ya buat siapapun yang memberi ini."

"Hanya ucapan terima kasih? Kakak tahu betul kan ini dari siapa?" goda Aydan sambil tersenyum jail.

Safeeya segera memelototi Aydan sebelum tangannya mengisyaratkan Aydan untuk segera pergi. 

"Sana cepat balik, setahuku laki-laki kalau persiapan untuk sekolah itu lama."

***

"Bang Dzimar! Mana upahku?" tanya Aydan selepas memakai seragam sekolah pada seorang lelaki yang tengah menyisirkan rambutnya di depan sebuah kaca.

Dzimar mengerutkan keningnya, merasa bingung.

"Emangnya dikira gak capek apa lari-lari cuma buat ngasih barang titipan ke seorang perempuan pujaan kakak kelasnya, mana aku belum mandi sama sekali tadi," ucap Aydan sedikit menyindir.

Senyum Dzimar merekah ketika paham apa yang sedang dibicarakan oleh Aydan. "Apa dia mengatakan sesuatu setelah kamu beri barang titipan dariku?"

"Dia hanya mengucapkan terima kasih," jawab Aydan sambil mengedikkan bahunya, "Omong-omong aku tadi malu sekali rasanya ketika berpapasan dengannya, dia sudah sangat rapih dan bahkan kurasa aku bisa menghirup sedikit parfum yang dipakainya," lanjutnya.

"Astaga tadi kamu sedekat apa dengannya sampai bisa menghirup parfumnya? Sudah kubilang jaga jarak tiga meter dengannya," ujar Dzimar sambil diselingi gurauan.

"Ah pasti dia sangat cantik ya, Dan? Aku jadi tidak sabar ingin segera berangkat ke sekolah untuk melihatnya."

Dengan semangat Dzimar menggendong tasnya dan berjalan keluar kamar. Dia baru saja kembali setelah izin untuk pergi ke kota asalnya untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Sebelum berjalan menuju pintu rumah dia berbelok terlebih dahulu ke dapur untuk mengambil sebuah minuman dingin dari kulkas.

"Ini jam di rumah yang telat 30 menit atau bos dari Kalimantan satu ini memang sedang berusaha berangkat ke sekolah lebih pagi?"

Dzimar menoleh ke arah meja makan untuk melihat sumber suara, didapatkannya teman karib yang sudah hampir setahun selalu berjalan bersamanya sedang berdiri sambil merapikan alat makannya.

"Bagaimana rasanya tidak bertemu Safeeya selama seminggu? Pasti rasanya seperti setahun ya? Serindu itu kah sampai temanmu satu ini tidak disadari hilang semalam?"

Dzimar tertawa lepas sambil menghampiri temannya itu, "Hey Khalif! Semalam kucari kemana-mana, kata Aydan kamu sedang minggat dengan perempuan dari kelas dua belas. Jadi ya sudah untuk apa aku susah payah melanjutkan mencarimu."

"Aduh tuh anak kalau ngomong suka asal. Aydan!" ucap Khalif sambil sedikit berteriak ketika menyebut nama Aydan sebelum akhirnya ikut tertawa. Setelah alat makannya telah selesai ditaruh ke tempatnya, dia menggendong tasnya dan berjalan menuju pintu rumah bersama Dzimar.

"Gimana kemarin ku tinggal seminggu? Aman 'kan?" Mulai waktunya Dzimar mengintograsi "cctv" pribadinya.

Khalif memandang ke arah langit sambil berusaha mengingat. "Aman sih, ya sama seperti hari biasanya, Safeeya si perempuan cantik keturunan arab dengan kepintarannya yang sepertinya semakin hari segalanya semakin bertambah baik. Tidak ada kabar terbaru sepertinya."

Dzimar menghela napas lega setelah medengar perkataan Khalif, padahal nyatanya dirinya mungkin hanya satu banding sekian yang menyukai Safeeya. Namun dia merasa sudah memiliki Safeeya sepenuhnya karena dia sendiri merasa tidak ada kekurangan dibanding lelaki yang lain. Dari segi fisik dia menang, dari segi materi sudah jelas menang, namun dari segi kepintaran--

"Tapi kalau tidak salah tiga hari yang lalu si Daffa sempat mengajak Safeeya mengobrol berdua, di depan ruang guru lantai tiga sih," lanjut Khalif secara tiba-tiba yang langsung menyebabkan Dzimar yang terdiam.

Nah, itu yang masih menjadi sedikit "kekurangan" dari seorang Dzimar, kepintarannya kalau dibandingkan dengan Daffa -seorang anak yang terkenal selalu juara dalam olimpiade fisika- masih terbilang agak jauh, walaupun sebenarnya Dzimar sudah masuk kalangan orang pintar setelah berkawan dengan Khalif.

"Mereka mengobrol tentang apa?" tanya Dzimar, sambil melanjutkan langkah kakinya.

"Rencana pernikahan mereka mungkin," gelak Khalif yang langsung disambut oleh sebuah pukulan di bahu kirinya.

***

Safeeya sedikit berdecak ketika membuka paper bag yang diberikan oleh Khalif,

"Yaampun, ini sih makanan yang persis pernah kubeli saat berlibur ke Malaysia."

Tangannya yang awalnya sedang membuka surat yang ditulis oleh Dzimar langsung cepat-cepat menyembunyikan kertasnya di kolong meja ketika terdengar suara pintu kelas yang terbuka,

"Hayo, habis ngapain? Payah sekali aktingmu."

Jantung Safeeya yang tadi berdegup kencang kembali normal ketika mengetahui teman dekatnya yang baru saja memasuki kelas.

"Aduh Keina! Kamu mengagetkan saja. Kemari, aku mau menunjukkan sesuatu," ucap Safeeya.

Keina segera menarik kursi di sebelah Safeeya sambil menaruh tasnya. "Ada apa tuh?"

Ditunjukkannya makanan dan surat dari Dzimar. Mereka membaca bersama surat yang ditulis oleh Dzimar.

"Menurutmu apakah ini dibuang saja atau bagaimana? Aku takut ketahuan oleh ibu rumahku, lagian isi suratnya sepertinya bisa kita cari lewat google dengan kata kunci 'Ungkapan rindu kepada pasangan' ya 'kan?" jujur Safeeya.

Keina terbahak ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Safeeya. Diambilnya surat tersebut dari tangan Safeeya. "Sini kubuang suratnya."

Dibukanya pintu kelas oleh Keina dan tepat ketika dia akan membuang kertas tersebut ke dalam tong sampah, telinganya mendengar langkah kaki dari tangga bawah yang sedang berjalan ke lantai dua.

Sial sekali karena ternyata Dzimar dan Khalif lah yang sedang menaiki tangga tadi dan sekarang Dzimar sedang berusaha menajamkan matanya untuk melihat gumpalan kertas yang akan dibuang oleh Keina.

Warna kertasnya ungu muda, persis seperti kertas yang dia titipkan pada Aydan.


Halo! Semoga kalian suka dengan bab kedua yang telah aku tulis ini!

Jangan lupa untuk divote ya, terima kasih! ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang