Pertama, dan Terakhir.

30 3 6
                                    

Lembahyung sore itu menghantarkan saya pada sosok hangat yang saya ketahui bernama Yunandar.

Kau yang sore itu tau-tau saja datang membawa payung, duduk disamping saya menawarkan sebungkus permen mint yang saya terima dengan senyuman.

Saya lantas bertanya maksud mu membawa payung, katamu nanti akan turun hujan. Lucu, bukan kah sudah jelas kalau langit sore itu berwarna oranye terang?

Toh langit diatas sana tidak menunjukan tanda-tanda akan turun hujan, sejauh mata saya memandangpun tak terlihat adanya awan mengumpul.

Lalu kamu terkekeh, memberikan senyuman dan tawa indah yang demi apapun. Saya menyukainya.

Kesan pertama yang indah dari saya untuk mu, Yunandar.

***

Esoknya entah bagaimana caranya, kita bertemu kembali.

Saya menemukan mu sedang terduduk lesu di bangku halte yang kemarin kami duduki bersama.

Saya berbasa-basi menawarimu permen stroberi yang saya beli paginya, kamu menerima walau tanpa senyuman. Saya enggan bertanya, takut menyinggung dan membuatmu tak nyaman.

Tapi semenit setelahnya, tepat sebelum bus yang saya tunggu datang, kamu memberi tahu saya apa yang membuatmu murung hingga saya urung menaiki bus saat itu.

Demi apapun Yunandar, ini pertama kali bagi saya mau repot-repot menunggu hingga bus selanjutnya hanya untuk mendengarkan cerita seseorang.

Dan sore tanpa pendaran oranye kala itu saya menyadari satu hal, bahwa saya menyukaimu Yunandar.

***

Hari terus berganti, dari pertemuan pertama saat itu kami jadi sering bertemu di tempat yang sama. Dan selalu saya yang pergi lebih dulu karena katamu kita tak searah.

Ada yang aneh sebenarnya, halte yang selalu saya datangi setahu saya hanya memiliki rute kearah rumah saya.

Bagaimana caranya kami tak searah?

Lagi-lagi aku memilih tak bertanya, membiarkan dirimu berada di halte yang sama dengan saya, bertukar cerita dengan sebungkus permen yang sesekali kami ganti dengan minuman.

Satu alasan mengapa saya tak bertanya, saya terlanjur nyaman.

Saya terlanjur nyaman memiliki teman untuk berbagi cerita tentang keseharian saya di penghujung hari.

Yang lalu saya menyesalinya, mengapa tak sedari awal saya bertanya pada mu apa maksud dan tujuan mu selalu datang ketika saya ada, selalu menunggu ketika saya belum datang.

Yunandar, saya tahu kamu tidak akan membaca ini, saya paham bahwa itu adalah hal yang mustahil.

Tapi dengan ini, saya mengaku kalau saya menyesal Yunandar.

***

Kamu memberikan saya nama panggilan, Nirmala.

Saya tahu artinya jadi saya biarkan kamu memanggil saya dengan sebutan itu.

Karena satu dan selalu, Saya menyukai segala sesuatu yang berhubungan denganmu Yunandar.

Saya senang mendapatkan nama panggilan yang indah seperti itu darimu.

Akan saya jadikan nama Nirmala adalah sebuah kenangan paling indah dari sosok pemberani sepertimu, Yunandar.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak terasa kita sudah enam bulan bertukar cerita di penghujung hari setiap harinya.

Hari itu saya sudah menyiapkan hati dan mental untuk memberitahu perasaan saya dengan harapan setidaknya kamu juga merasakan hal yang sama.

Sandyakala < Hwang Yunseong > ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang