What A Plenary Obligation

29 7 0
                                    

Ahn Jimin meringkuk di ujung kamar. Memeluk kedua kakinya. Air mata mengalir tanpa henti dan tanpa perintah dari kedua mata bengkak yang sudah menangis sejak tiga jam yang lalu. Sekarang pukul satu dini hari, dan Jimin masih diam tidak berpindah tempat.

Pikiran remaja itu kalut. Teramat kacau. Terdengar kembali suara-suara yang melontarkan kalimat biadab itu. Terputar secara acak adegan demi adegan yang membuat jiwa manis itu ingin membenturkan kepalanya ke tembok lalu amnesia.

Tatapannya kosong. Dengan kelopak mata yang sayu dan tatapan sakit. Bahkan sekarang luka-luka yang tadinya ngilu menusuk palung hati kini menjadi mati rasa. Menarik sudut bibir untuk tersenyum membohongi diri sendiri sudah menjadi keahlian.

Jika ia tahu tumbuh dewasa akan melewati situasi serumit ini, Jimin lebih memilih untuk tidak pernah membayangkan hal-hal indah menjadi remaja. Harapan-harapan itu hanya omong kosong belaka yang berakhir menjadi luka ketika ia sadar, bahwa Bumi dan seisinya tidak hanya tentang hal-hal baik.

Juga percuma untuk mencoba berbagi rasa dengan sesama manusia. Manusia memang tidak dapat diandalkan. Mereka hanya akan menyimpulkan bedasarkan persepsi mereka sendiri yang tidak berdasar lalu dengan enteng mengatakan, "Dih, gitu doang baper lo Jim. Kan cuma bercanda."

Ia juga tidak pernah mengharapkan menjadi menyedihkan. Jimin tidak pernah menginginkan semua ini. Lalu apa salahnya jika sesekali seseorang merasa lelah dan jatuh? Apa bullying sebercanda itu? Apakah depresi sebuah lelucon?

Mereka yang mengaku menjadi malaikat pelindung namun nyatanya menjadi gangster yang perlahan-lahan merusak jiwa dari dalam, menghakimi dengan kalimat-kalimat berengsek seolah-olah ia adalah Tuhan yang tahu detail seujung kuku tentang makhluknya.

Tidak pernah mencoba memahami. Tidak pernah ingin tahu seperti apa sudut dari Jimin. Namun mereka mudah sekali beranggapan bahwa satu tarikan nafas saja menjadi beban dan kesalahan.

Kalimat-kalimat dengan nada manis itu sungguh memuakkan. Berperilaku seperti memberi pendapat netral padahal mereka tanpa sadar atau pun disengaja merobek hati Jimin dengan dalil "Jim, sadarlah, kami menyayangimu. Kau pasti akan tampak sempurna jika mau mencoba lebih membuka diri."

Omong kosong. Masa bodoh dengan hal yang disebut kasih sayang atau perhatian itu.

Sesekali Jimin berpikir bagaimana jika ia menghilang? Menghilang tanpa ada yang menyadari. Toh juga mereka hanya menatap dengan belas kasihan palsu dan kepura-puraan.

Jimin tersiksa dengan hidup, namun ia tidak siap untuk mati.

Satu-satunya yang bisa Jimin gantungkan hingga saat ini adalah harapan. Tidak munafik, Jimin masih percaya bahwa tokoh utama bisa saja memiliki akhir yang indah meskipun tidak dijamin. Dan garis finish itu bukan sekarang. 



---0O0---



Masih pagi hari yang sama. Dunia penuh tipuan dan menjenuhkan. Suara rintik hujan dan angin yang bersenandung tanpa perasaan. Detik jam itu terasa melambat ketika Jimin berharap semua berjalan kencang tanpa pedal rem, dan otomatis mempercepat dengan sendirinya ketika Jimin menginginkan untuk menyelami hari lebih lama.

Cara kerja alam yang memang selalu semaunya. Sebab manusia memang menumpang, dan mereka bilang, orang yang menumpang itu harus menurut pada kehendak tuan rumah. 

Dan kini rasa-rasanya, Jimin phobia dengan kata menumpang. 

"Tidak tahu diri! Kau itu menumpang! Sadarlah dasar anak bodoh!"

A Plenary ObligationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang