Satu.

929 118 3
                                    

"Jeon Jeongguk?" Pria paruh baya dengan kumis tipis itu terlihat mengedarkan pandangan ke seisi kelas, lantas di detik selanjutnya menghela nafas, "Bolos lagi, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jeon Jeongguk?" Pria paruh baya dengan kumis tipis itu terlihat mengedarkan pandangan ke seisi kelas, lantas di detik selanjutnya menghela nafas, "Bolos lagi, ya?"

Jimin masih diam mematung, berdiri tepat di sebelah Choi ssaem--menunggu giliran untuk diberi kesempatan menyapa. Nama itu terdengar tak asing; Jeon Jeongguk, seolah ia pernah mendengarnya di suatu tempat, namun ia tak begitu yakin.

"Kayaknya begitu, ssaem."

"Aku disini."

Nyaris semua manusia yang terduduk di kursi mereka masing-masing menoleh ke belakang, menatap seorang pria jangkung yang baru saja memasuki kelas dengan berjalan gontai, "Murid baru, ssaem?"

Kedua kalinya Jimin mampu mendengar helaan nafas berat dari bibir Choi ssaem, "Kamu telat dua menit, Jeongguk."

"Satu menit empat puluh dua detik." koreksinya dengan melirik jam tangan, kemudian berjalan santai ke meja paling ujung.

Tiga kali. Jimin rasanya bisa menghapal bagaimana suara helaan nafas berat sang guru, begitu jengah dan terdengar frustasi. Namun, sepertinya Choi ssaem lebih memilih untuk mengabaikan presensi bandel itu dengan memutar kepala kearah Jimin, lantas menyunggingkan senyuman yang terlihat begitu aneh dimatanya, "Park Jimin kan, ya? Kenalkan dirimu."

"Aku, Park Jimin." ujarnya dengan raut datar, meneliti tiap wajah anak yang terduduk rapi di hadapannya, menatap dirinya seolah ia terlihat seperti anak aneh dengan penampilan yang tak bisa diterima. Netranya berhenti pada presensi di ujung ruangan yang menatap obsidiannya dengan tatapan yang cukup tajam. Oh, Jeon Jeongguk, ia ingat sekarang. Pria canggung yang memberinya tumpangan dari lapangan tua di ujung jalan menuju rumah barunya. Ya, Jeon Jeongguk.

"Udah? Itu aja?" lamunannya terkoyak saat suara Choi ssaem memaksa masuk ke gendang telinganya, membuat dirinya sedikit tersentak.

"Itu aja."

Sial. Empat kali dirinya mendengar helaan nafas itu lagi. Tebaknya, Choi ssaem sepertinya adalah golongan manusia yang suka mengeluh dengan ribuan helaan nafas setiap harinya, "Baiklah, kamu bisa duduk di...."

"Disini." Jeongguk mengangkat tangannya, lantas menunjuk bangku kosong tepat di sebelahnya.

"Nah, di sebelah Jeongguk."

Tanpa mengulur waktu, Jimin segera berjalan menuju bangkunya—ketimbang harus mendengar helaan demi helaan yang memuakkan. Ia cukup risih ketika beberapa mata anak mengikuti gerakan dirinya, ia tak menyukai atensi yang berlebihan.

"Kakimu, udah baikan?" satu kalimat tanya menyambutnya ketika ia membiarkan pantatnya menyentuh permukaan bangku. Siapa lagi jika bukan Jeon Jeongguk, satu-satunya individu yang ia tahu dari sejumlah tiga puluh anak yang memenuhi ruangan kelas itu.

"Udah."

"Butuh tumpangan lagi?"

Jimin menoleh, sedikit menarik bibir untuk melontarkan kekehan kecil, "Kamu, naik sepeda ke sekolah? Bukannya jauh?"

FALL | jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang