Tiga.

503 101 0
                                    

Selewat pukul dua belas malam, Jimin dan Jeongguk berjalan beriringan dengan menuntun sepeda mereka. Dalam keheningan malam yang meredam, keduanya membisu, tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

"Jimin, abis ini kita lulus. Kamu ada rencana kuliah di kota ngga?" mendadak Jeongguk merapalkan pertanyaan di tengah keheningan, membuat Jimin menoleh.

"Ada," jawabnya, "Kamu?"

Jeongguk mengangguk, "Ada, tapi pengn di luar negeri."

Jimin tersenyum, "Keren," pujinya yang kini menatap lurus ke depan, pada jalanan gelap yang dibantu penerangan dari lampu sepedanya, "Aku udah ngga berani mimpi tinggi-tinggi, Ibu ngga akan sanggup." gumamnya.

"Masih ada beasiswa?"

Jimin menggeleng, "Iya, tapi aku ngga bisa jauh-jauh dari Ibu dan nenek. Jadi aku cukup kuliah di kota biar bisa pulang seminggu sekali."

"Jurusan apa?"

"Pertanian," jawabnya, "Akhir-akhir ini lagi suka bantuin nenek dan karyawannya mengelola kebun buah, ternyata seru juga jadi petani buah."

Jeongguk tersenyum. Ia paham betul mengenai kesukaan Jimin akhir-akhir ini, berkecimpung di kebun buah milik neneknya untuk membantu ini itu. Katanya, hal yang paling mengasyikkan saat menjadi petani adalah ketika masa panen telah tiba, memetik buah satu persatu lalu dimasukkan ke dalam keranjang. Jimin bilang, momen itu bisa ia manfaatkan untuk mencicipi buah manis langsung dari pohonnya.

"Kalau melon, masak iya langsung dicicipi?"

Jimin terkekeh, "Maksud aku buah-buah yang simpel, Gguk. Kayak strawberry atau anggur."

Nenek Jimin memiliki beberapa kebun buah yang beraneka ragam, terkenal sebagai petani buah paling lengkap di desa mereka, dibantu oleh tiga hingga empat orang karyawan yang bekerja disana, dan tentunya, dibantu oleh sang cucu, Park Jimin.

Jeongguk cukup terkesan ketika mendengar penuturan Jimin, memutuskan untuk kuliah di jurusan pertanian guna membantu pengelolaan kebun buah sang nenek.

"Aku akan mengabdikan diriku buat desa ini, hehe." Gumam Jimin dan menurunkan penyangga sepedanya mereka telah sampai di depan rumah Jimin.

Jeongguk bungkam, masih menatap wajah Jimin dengan lekat. Wajah itu jauh lebih indah ketika dibawah temaram lampu jalan, terlihat bersinar dengan mata yang berbinar.

"Gguk?"

Suara Jimin membuyarkannya, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengucap kalimat yang membuat dahi Jimin mengernyit, "Kamu tau kan aku suka sama kamu? Atau kamu pura-pura ngga tau?"

Jimin membisu, tidak menduga bahwa ia akan menerima satu kalimat yang ia hindari, ditambah kalimat itu dilafalkan oleh sahabatnya sendiri, "Aku ngga ngerti kamu ngomong apa."

Jeongguk menghela nafasnya dengan berat, menurunkan penyangga sepedanya di pinggir jalan, lantas berjalan mendekati Jimin, "Aku tahu kamu pernah kecewa, kamu sangsi akan cinta. Tapi bukan salahku kalau misal aku suka sama kamu."

"Gguk, kemarin kamu udah janji kamu ngga bakalㅡ"

"Aku ingkar."

Jimin terhenyak ketika mendengar kata itu, "Mau kamu apa? Aku ngga mau persahabatan kita bubrah cuman gara-garaㅡ"

"Kamu pikir aku mau? Aku cuman... aku ngga bisa cuman duduk diem disaat perasaanku segini menyiksanya." ucap Jeongguk.

Sedangkan Jimin lebih memilih bungkam, meniti obsidian Jeongguk yang menatapnya tajam. Ia bingung harus mengucap apa, lantas menhembuskan nafas dengan berat sebelum berkata, "Gguk, kamu ngawur banget. Mending pulang deh, istirahat." gumamnya sebelum meraih kemudi sepedanya untuk dibawa masuk ke dalam halaman rumah.

FALL | jikookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang