Masih dengan tatapan yang sulit diartikan, Pak Ghifari menghampiri anak sulungnya lalu memeluknya dengan erat. Ia tidak menyangka persetujuan Bri terkait rencana kepindahan studi nya ke Amerika justru membuat dirinya menjadi bimbang.
"Bri, maafin Papa.." katanya lirih, "Kamu gak berpikir kalau Papa ini kejam sama kamu kan, Nak?"
Pemuda itu menautkan kedua alisnya bersamaan dengan renggangnya pelukan sang ayah, "Kejam? Kenapa Papa mikirnya gitu?"
Bu Nurma lalu ikut mengusap pundak lebar anak sulungnya itu, "Papa sama Mama tadi liat kamu sama temen-temen baru kamu kayaknya happy banget, kamu yakin mau ninggalin mereka?" seru bu Nurma pelan.
Dibelakang mereka, Tama berkali-kali menelan ludahnya dengan susah payah saking gugupnya. Suasana semakin canggung, seakan mereka semua takut dengan reaksi Bri yang sebenarnya justru bersikap santai.
Bri menatap wajah anggota keluarganya itu satu persatu. Ia lalu tersenyum saat menyadari raut wajah mereka sangat kaku dan tegang, "Kalian kenapa pada tegang gini sih mukanya? santai aja lah.." kata Bri sembari menjatuhkan bokongnya disamping Tama.
"Bang, ini kita lagi serius ya! Bisa-bisanya lo ketawa kayak gini? Jawab tuh pertanyaan Mama!" seru Tama yang mendadak galak.
Bri menggelengkan kepalanya sambil terus tertawa, menurutnya reaksi adiknya ini sungguh berlebihan. "Ya gue juga serius sama jawaban gue. Gue gak keberatan sama pilihan Papa." Bri kemudian melirik sebentar kearah Ayahnya dan Ibunya, "Kalau masalah geng bocah dewasa..."
Bri terdiam..
"Bri akui Ma, Pa, Bri seneng banget ada ditengah-tengah mereka. Bri juga gak tau kenapa Bri bisa senyaman itu sama orang yang baru Bri kenal."
Pak Ghifari dan Bu Nurma masih belum bereaksi. Mereka tau kalau anak sulungnya ini belum selesai bicara.
"Tapi Bri yakin ini keputusan yang terbaik buat Bri dari kalian." Bri melanjutkan, kini wajahnya mulai serius. "Bri pasti bakal kangen banget sama mereka. Gak tau sih mereka kangen balik apa engga.."
Mendengar ucapan kakaknya barusan, mata Tama tiba-tiba terasa panas dan meneteskan bulir cairan bening. Seketika saja ia menyeruak ke pelukan kakaknya dan menangis disana. Entah kenapa ia sangat melow seakan-akan Kakak sekaligus sahabatnya ini akan pergi ke Amerika besok.
-----
Seperti biasa, Geng Bocah Dewasa berkumpul di DPR setelah selesai kelas saat jeda makan siang. Siang itu terasa sangat terik, angin yang berhembus pun membawa hawa panas serta debu debu yang ikut berterbangan. Terlihat beberapa gelas bekas minuman dingin yang sudah kosong bertebaran diatas meja-meja DPR.
"ASTAGA TUHAAAN! PANAS BANGEEEEEET!" gerutu Petra, beberapa peluh mengalir dari dahinya.
"Iya dah tumben, gue sampe abis tiga kaleng Coca Cola nih.." timpal Rey, tangan kanan nya sibuk mengipas-ngipas wajahnya dengan kertas brosur.
"Hadeeeeh kalau gini caranya mah walaupun gue ada keturunan bule juga ga akan keliatan, kejemur matahari mulu." kini Tama ikut menggerutu, satu kakinya tampak naik keatas kursi seperti di warteg.
"Ah abang lo kejemur juga tetep keliatan bule nya, Tam hahaha" timpal Rey asal.
"Oh iye Tam, btw, tadi pas selesai kelas Abang lo langsung buru-buru cabut gitu, mau kemana dah?" tanya Ichan sambil menyeruput dengan syahdu es kelapa muda kesukaannya. Membuat yang lain ikut menyadari kalau Bri memang tidak datang untuk berkumpul dengan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Grown Up
Fanfiction(BUKAN CERITA BL) Cerita ini hanya fiktif dan tidak bermaksud menyinggung pihak manapun. Setelah deretan masalah yang bertubi-tubi menimpanya, Bri, seorang mahasiswa introvert baru sadar kalau memendam masalah sendirian itu gak enak. Dia butuh tema...