Nanami | Itadori

5K 550 56
                                    

Ini masih terlalu pagi untuk orang-orang melakukan aktivitas harian, tapi tidak untuk pria yang memiliki tinggi 184 cm. Dia telah terbiasa bangun lebih pagi dari kebanyakan orang.

Pria bernama Nanami Kento ini adalah seorang pemilik dari perusahaan yang bergerak di industri pengelolaan lahan, masih lajang dan sedang berniat mencari pasangan. Usianya baru saja 31 tahun, seminggu yang lalu. Di rayakan dengan sangat tidak layak oleh dua kolega yang agaknya tidak memiliki otak.

Usai mandi dan berpakaian, pria yang memiliki bentuk tulang pipi menonjol itu berjalan kearah dapur. Membuka pintu kulkas yang ternyata isinya kosong, mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana ia mengetikkan sesuatu di dalam memo.

'pulang kantor : membeli stok bir'

Menutup pintu lemari es, Nanami membuka buffet. Mengambil sebuah cangkir dan se-toples kopi hitam, memasukkan beberapa sendok ke dalam gelas Nanami kemudian meletakkan panci kecil untuk memasak air.

Sembari menunggu matang Nanami mengecek email yang di kirimkan oleh sekretarisnya, mengenai jadwal yang akan ia lakukan hari ini. Cukup padat, melelahkan, dan membuat kepala pening.

Tentang dua kolega berotak tak ada, mereka berniat untuk makan siang bersama usai meeting. Nanami ingin menolak, namun satu kolega yang telah mengalami pergeseran otak sangat parah berambut putih memaksanya untuk ikut. Adakah yang prihatin pada dirinya? Lupakan saja.

Secangkir kopi sudah siap, Nanami duduk di depan tv. Menikmati berita pagi sembari menyesap likuid hitam yang berasa getir, ia tidak membuat sarapannya sendiri. Alasannya, karena ia tidak bisa masak. Sudah sangat jelas, mungkin nanti ia akan mampir sebentar ke toko roti untuk membeli roti isi.

Pagi hari yang membosankan untuk pria berusia 31 tahun ini, siklus hidupnya selalu sama. Bangun tidur-bekerja-bekerja-bertemu dua kolega gila (  jika luang ) - pulang- tidur dan terus berputar seperti itu setiap harinya.

🌻🌻🌻

"Kakek, ini teh mu." Secangkir teh tersaji di hadapan seorang pria tua yang kini menatap penuh arti pada pemuda pemilik surai pink-black.

Itadori Yuuji, cucu satu-satunya dari kepala keluarga Itadori. Putranya telah lama meninggal, begitupula dengan menantunya. Kini beliau hanya tinggal berdua dengan Yuuji, pemuda yang sedang berdiri membalik pancake di pantry.

"Kakek, apa kau ingin menambahkan sesuatu untuk topingnya?" Tanya Yuuji berjalan ke arah meja makan, kedua tangannya membawa pancake untuk masing-masing.

"Beri madu saja." Jawab kakek Itadori, pemuda berwajah elegan itu tersenyum lalu mengangguk. Menuangkan madu di atas pancake, lalu ia menyajikannya di hadapan sang kakek tercinta.

Keduanya makan dengan tenang, suasana pagi yang damai dan nyaman. Mereka sangat menikmati setiap momen seperti sekarang, sebuah masa yang akan terekam dalam otak kecil untuk terus diingat di masa yang akan datang. Di mana saat salah satu diantara mereka pergi lebih dulu.

"Kakek, jangan lupa minum obatmu nanti." Pesan Yuuji.

"Kau tidak perlu mengingatkanku." Jawab kakek Itadori ketus, Yuuji tersenyum kecil sedikit tertawa sembari membereskan piring-piring bekas makan mereka ia membawanya ke tempat pencucian.

"Kau selalu lupa minum obatmu, jika tidak diingatkan kau pasti tidak minum." Celoteh si cucu yang kini sudah berusia 22 tahun, terdengar gerutuan dari kakek Itadori yang tidak suka di ceramahi bocah ingusan sepertinya.

"Aku akan minum! Jadi berhentilah bicara." Sungut kakek Itadori sembari mengambil botol yang berisi obat yang biasa ia minum.

Yuuji kembali mendekati kakeknya, tersenyum senang melihat orang kesayangannya telah menenggak obat untuk menjaga kesehatannya.

"Kalau begitu, aku berangkat kuliah dulu." Pamit Yuuji memeluk kakek Itadori.

"Hati-hati di jalan." Tangan yang sudah keriput milik kakek Itadori mengelus rambut merah muda cucunya, setelah itu si pemuda setinggi 175 cm tersebut pergi.

Hela nafas panjang keluar dari pria berusia lebih dari 60 tahun itu, mengangkat satu tangan pada satu-satunya pelayan di rumah tua ini agar mendekat kearahnya.

"Apa Itadori-sama membutuhkan sesuatu?" Tanya si pelayan, kakek Itadori mengangguk.

"Tolong, panggilkan Kento-kun untukku." Pelayan tersebut mengangguk.

"Di mengerti, Itadori-sama."

Sepeninggal pelayannya kakek Itadori mendongak menatap langit-langit kayu rumah bergaya tradisional layaknya jaman Sengoku dulu, Hela nafas berat keluar dari bibir keringnya.

"Kurasa... Sudah saatnya Kento-kun membawa cintanya." Gumam kakek Itadori.

🌻🌻🌻

Bersambung

Hai...hai... Halo semuaa

Akhirnya kapal Nanaita berlayar mulai hari ini, yeaaayyy🎊🎊
Selamat datang di book AFEKSI
Selamat menikmati perjalanan cinta dua sejoli ini

Akhirnya kapal Nanaita berlayar mulai hari ini, yeaaayyy🎊🎊Selamat datang di book AFEKSI Selamat menikmati perjalanan cinta dua sejoli ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AFEKSI || NANAITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang