BAGIAN PERTAMA : "Kupikir Hatiku Sekokoh Tembok"

165 39 107
                                    

Juni 2019




Saat kupikir hatiku sekokoh tembok ternyata aku salah besar. Pada kenyataannya aku mudah sekali terbawa perasaaan setelah patah hati yang membuatku tak ingin terlibat lagi pada dunia merah jambu yang berujung menyesakkan.

Padanya aku kembali menjatuhkan harapan; mengabaikan papan peringatan yang kupasang di depan wajahku yang melarang untuk terlalu jauh terbawa perasaan. Setiap huruf yang terangkai menjadi kalimat super manis yang dia kirimkan padaku membuatku tersenyum kecil, kadang guling-guling sendiri di tempat tidur sambil menggigit ujung bantal karena malu saat dia memuji hal-hal kecil tentang diriku.

Cinta membuatku mabuk kepayang, terbang mengawang sampai lupa kalau bisa saja nanti aku terjatuh karena tak mampu melawan angin.

Aku melupakan satu, dua atau beberapa hal, bahwa mungkin saja kedatangannya hanya untuk menguji pendirianku. Ah, persetan. Begitu argumen hatiku setiap kali akal mengajakku berpikir ulang. Klisenya, cinta membuat orang kehilangan akal sehat; mengabaikan logika; membanting semua kekukarangan yang dia miliki sehingga yang terlihat hanya kelebihannya—di mana ia benar-benar membahagiakan sudut hatiku yang sepi.

Tinggiku yang hanya sebatas dadanya membuatku harus menengadah hanya untuk menyaksikan senyumnya atau menatap bola mata cokelat gelap yang dimilikinya. Setiap usapan lembut yang ia daratkan di pucuk kepalaku membuat harapan semakin tinggi; aku dengan cepat menyimpulkan bahwa dia adalah obat dari masalaluku yang berdarah.

Diary, Dari Kisah Yang Telah Usai [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang