BAGIAN ENAM : "Hallo?"

16 2 0
                                    

Pengujung Juli 2019.




Malam itu hujan turun cukup deras disertai petir dan angin kencang membuat ibu panik, menyuruhku membaca surah-surah, menutup semua kaca dan mematikan ponsel—katanya, "jangan main hape kalau ada petir, memangnya kamu nggak takut disambar petir?" begitu omelannya yang hanya kutanggapi dengan jawaban "iya" lalu meletakannya di atas meja.

Itu adalah malam minggu. Malam yang membuatku bersyukur Tuhan mengirimkan hujan deras agar siapa pun mereka yang sedang punya rencana bersenang-senang dengan pacarnya di luar sana, gagal. Doa yang seharusnya diucapkan jomblowan dan jomblo wati, justru terucap dari mulutku yang punya kekasih, tetapi merasa seperti aku tak memilikinya.

Dia tak mengabariku sama sekali sejak kemarin sore. Pesan yang kukirimkan padanya bercentang dua tak kunjung jadi biru, padahal Whatssappnya selalu aktif. Sungguh, aku merasa tak ada masalah apa-apa dalam hubungan kami. Maksudku, pesan terakhirnya dia masih baik-baik saja, lalu kemudian ia berubah sedemikian rupa anehnya membuatku bingung.

Karena penasaran, kumatikan lagi mode pesawat itu berharap ia menoticeku. Dan benar saja, beberapa saat kemudian ponsel di atas meja belajarku tiba-tiba berbunyi membuyarkan pikiranku yang sedang menerka-nerka. Kukipir saat itu dia yang meneleponku, sehingga rasanya begitu excited tanganku meraih benda pipih tersebut—lalu senyum di bibirku memudar—ternyata hanya notifikasi grup yang sedang ramai membicarakan tugas.

Kulihat masih pukul setengah sembilan malam. Jariku nekat berselancar, mencari namanya yang kuimbuhi emoji hati di belakangnya. Kami harus bicara, itu yang ada dalam pikiranku ketika nada sambung berbunyi. Panggilan pertamaku tidak dijawab. Oke, mungkin tidak mendengar, lalu kucoba lagi panggilan kedua, hingga akhirnya tersambung.

"Hallo?"

Aku menarik napas lega karena akhirnya ia menjawab teleponku. "Kamu ngga kenapa-kenapa 'kan? Maksud aku, aku nggak ada bikin salah kan sama kamu?" tanyaku hati-hati. Sungguh, aku benci berdebat.

"Iya. Aku baik-baik aja dan kamu nggak punya salah apa-apa. Kita baik-baik aja." Bahkan suara hujan tak mampu menyamarkan nada bicaranya yang hambar.

Dan aku yang berusaha menahan tangis dari sini harus dibuat kaget oleh suara seorang gadis yang memanggil namanya di seberang sana. "Itu siapa? Kamu lagi mana?"

"Itu Gia, sahabat aku. Aku lagi nemenin dia ngopi, sama temen-temen juga. Udah dulu ya. Nggak enak lagi ngumpul malah asik sendiri."

Bahkan ia tak menungguku bicara—semena-mena panggilan terputus begitu saja.
Ironis. Ketika aku menunggu pesan darinya, berpikir keras tentang perubahannya. Di sana dia malah menghabiskan malam bersama teman-temannya, ah ralat, mantan lebih tepatnya.

Diary, Dari Kisah Yang Telah Usai [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang