BAGIAN TUJUH : "Mantan."

17 2 0
                                    

1 Agustus 2019

Hubungan kami di ujung tanduk. Semua tanya kini terjawab. Penghuni lama yang mengetuk pintu rumahnya kembali—Gia, sang mantan kekasih. Gadis yang pernah dicintainya mati-matian kini hadir lagi seperti racun yang mengobrak-abrik hubungan kami.

Apakah aku marah? Jelas.

Perubahan-perubahan yang kurasakan bukan hanya sekadar perasaanku saja tetapi memang sebuah tindakan yang beralasan, karena gadis di masa lalunya membuka jalan menuju pintu kenangan di bangku sekolah menengah atas.

"Kamu ngomong gitu seolah-olah kamu ngga percaya sama aku. Dia itu cuma mantan!"

"Cuma mantan?" Aku benci melihatnya menyebut kata 'cuma' yang setengah hati. Jelas aku melihat harapan di matanya untuk kembali bersama Gia. Mengapa begitu munafik. Ingin mempertahankan hubungan ketika hatinya memang masih terpaut dengan masalalu. "Aku nggak sebego itu yang bisa kamu bohongin. Aku punya mata, punya telinga, punya hati yang terlalu peka buat cuma diam, ngebiarin kamu sama mantan kamu jalan bareng."

"Jalan bareng bukan berarti aku masih ada rasa sama dia! Tolong lah, kita udah sama-sama dewasa, nggak usah lebay cuma karena masalah ginian."

Rasanya ingin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya. Lebay? Bahkan aku tak pernah mempermasalahkan banyak hal sebelumnya. Aku selalu jadi ekor yang mengikuti alur hubungan kami, dan ketika aku berontak dia mengataiku lebay?

"Selebay apa sih, aku di mata kamu? Kamu ngebiarin chat aku hampir 24 jam penuh, bikin aku bingung. Oke, aku masih bisa maklumin kalo emang kamu jenuh dan butuh buat tenangin pikiran. Tapi nggak lari ke mantan, jawabannya. Kita sama-sama dewasa, kalau emang di hati kamu masih ada dia. Balik sama dia, nggak udah maksain hubungan yang ujung-ujung malah nyiksa aku."

"Tapi maksud aku nggak gitu—"

"Aku juga bisa capek, jenuh, bosan. Tapi lari ke mantan, itu bukan sifat aku."

Kutepis tangannya yang berusaha mencegahku pergi. Seruannya tak lagi mampu membuatku berhenti untuk sekadar menoleh atau meluluhkan hati. Mungkin saat itu, aku sudah sampai pada titik lelah yang benar lelah mempertahankan hubungan yang belum genap seumur jagung.

Diary, Dari Kisah Yang Telah Usai [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang