Maret, 2007Lee Haechan, anak laki-laki berumur tujuh tahun itu tak henti-hentinya menangis sejak tadi. Matanya yang sudah sembab, ia menatap ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai macam bantuan alat medis yang terpasang ditubuhnya. Seakan-akan ibunya akan pergi tanpa bantuan alat itu.
Sementara ayahnya hanya berdiri di sampingnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Bahkan dari ekspresi wajahnya saja, ayahnya tidak terlihat khawatir sama sekali.
Dan Haechan tahu itu.
Di ruangan ber cat putih itu, Haechan masih terisak. Perlahan ia mendekat pada ibunya kemudian bergerak untuk menggenggam tangannya.
"Ibu bangun.. Ini Haechan.." isak Haechan pelan. "Jangan tinggalin aku sendirian, aku masih butuh ibu.."
Tidak ada jawaban, mata ibunya masih Setia terpejam.
Rasanya dingin sekali saat Haechan menggenggam jari-jemari ibunya yang kurus dan pucat, saat itu juga ketakutan Haechan semakin menjadi-jadi.
Ia takut ibunya tidak bisa bertahan karena penyakit yang dideritanya. Ya, ibu Haechan menderita penyakit kanker darah sejak setahun yang lalu.
Sekarang kalian paham mengapa Haechan sangat takut. Karena ia takut ibunya pergi.
"Haechan.."
Kepala Haechan mendongak saat suaranya dipanggil lemah oleh ibunya. Perlahan wanita itu membuka matanya.
"Ibu dengar aku 'kan? Ini Haechan bu.. Ini Haechan," sahut Haechan. "Apa ada yang sakit? Dibagian mana? Biar Haechan yang gantiin ibu."
Perlahan tangan ibunya bergerak lemah, mengusap air mata yang masih mengalir dipipi anak laki-lakinya itu.
"Kenapa nangis, hm? Ibu nggak apa-apa kok," ucap ibunya lirih. "Haechan jaga diri baik-baik ya? Jangan nakal, jangan telat makan."
Haechan menggeleng cepat, "jangan pergi.. Ibu nggak boleh pergi sekarang. Aku masih butuh ibu.."
Wanita itu tersenyum lirih. Ditatapnya mata Haechan lekat-lekat. Bagaimana dia bisa bertahan sementara waktunya terasa sudah dekat.
Air mata ibu nya yang sudah menumpuk dipelupuk matanya tidak bisa ia tahan lagi saat tangan kecil Haechan dengan kuat mengenggam tangannya.
"Maaf karena ibu nggak bisa jagain kamu. Ibu harap kamu tumbuh dewasa sebagai anak laki-laki yang baik dan selalu bahagia," ucap ibu Haechan. "Ibu sayang kamu.."
Tatapan ibu Haechan beralih pada suaminya yang sejak tadi hanya diam.
"Boleh aku minta satu permintaan sebelum aku pergi?" .
Ayah Haechan berdeham, "Apa itu?"
"Tolong jaga Haechan baik-baik, jangan pernah sakiti dia."
"Tanpa kamu suruh pun aku pasti lakuin itu. Bagaimanapun juga Haechan tetap anakku." jawab ayah Haechan.
"Terimakasih.." ucap ibu Haechan.
"Ibu.." isak Haechan. "Jangan pergi.."
Bersamaan dengan air mata yang menetes perlahan di sudut matanya, ibu nya mengusap kepala Haechan dengan lembut. "Haechan.. Jaga diri kamu baik-baik ya? Jangan tangisin ibu.."
Setelah berkata demikian, nafas ibunya tiba-tiba tersendat-sendat.
Bersamaan dengan datangnya Dokter dan beberapa suster, mesin monitor yang sejak tadi berbunyi teratur tiba-tiba berbunyi nyaring. Mesin-mesin yang terpasang di tubuh ibu Haechan berkedip seakan-akan menandakan ada sesuatu yag fatal
"Haechan..ibu pergi dulu.. jaga diri kamu..baik-baik.."
Piiip... Piiip... Piiiiiiip
"Ibu jangan pergi! Haechan masih butuh ibu! Aku mau ikut ibu!" Haechan berteriak histeris sembari menggenggam tangan ibunya.
"Ayah! Kenapa ayah cuma diam?! Ayah dengar aku 'kan?!" teriak Haechan frustasi.
"Haechan cukup! Ibu kamu nggak akan bisa bertahan!" sahut ayahnya
Piiiiiippp
Dengingan panjang dari mesin monitor kembali terdengar, tapi kali ini lebih panjang dengan garis lurus. Tepat setelah itu, semua mesin berhenti total, semuanya terasa sunyi.
Perlahan ia merasakan genggaman tangan ibunya mulai mengendur kemudian terlepas.
Haechan memang masih kecil, tapi dia tahu apa yang terjadi pada ibunya.
"Maaf, pasien tidak bisa diselamatkan." ucap Dokter itu.
Tangisan histeris Haechan di ruangan itu seakan sia-sia, ibunya sudah pergi untuk selamanya. Diumurnya yang masih sangat muda, Haechan sudah merasakan betapa beratnya hidupnya saat dimana ibunya harus pergi di hari ulang tahunnya.
Setelah itu, bagaimana caranya Haechan tumbuh dewasa setelah kepergian ibunya?
--tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Ellipsism
Fanfiction❝Jangan menunggu kalau dia sudah pergi, baru kamu menyesal.❞