Pagi ini, Haechan bangun pagi-pagi sekali. Sebelumnya pun juga sama ia lakukan, tapi hari ini berbeda.
Yah-- hari ini tanggal dimana ibunya dulu meninggal
Bertahun-tahun kejadian itu sudah berlalu, dan itu sudah sangat lama sekali. Sekarang Haechan sudah tumbuh dewasa dan sudah menginjak kelas 3 SMA.
Tapi bagaimanapun juga, Haechan tidak akan pernah bisa lupa. Bagaimana bisa ia lupa? Bahkan sampai detik inipun rasanya masih sama. Menyakitkan, tentu saja.
Setelah selesai bersiap-siap dengan memakai seragam sekolahnya, Haechan berjalan menuju meja disamping tempat tidurnya.
Disana ada foto ibunya yang Haechan simpan sejak ia kecil. Satu-satunya foto ibunya yang ia punya hanya itu. Itupun ia dapat karena mencuri dari foto album keluarganya dulu sebelum dibakar oleh ayahnya.
Untuk beberapa saat, Haechan hanya diam terpaku sambil mengamati foto ibunya. Wanita yang paling cantik di dunia menurut Haechan. Satu-satunya wanita yang paling ia cintai tapi sayangnya tidak bisa ia peluk.
Tanpa Haechan sadari, air mata sudah menumpuk dipelupuk matanya. Buru-buru ia mengusapnya sebelum benar-benar menetes.
"Ibu cantik banget. Haechan kangen," gumam Haechan pelan.
Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Haechan menaruh kembali foto ibunya kemudian berdiri. Ia harus berangkat sekolah.
Berjalan keluar kamar, langkah Haechan terhenti saat hendak menuruni tangga.
Hal pertama yang ia lihat adalah ayahnya yang tengah sarapan dengan ibu tirinya. Dan iya, jangan lupakan adik tirinya, Park Jisung.
Sebenarnya Haechan sudah amat terbiasa dengan pemandangan seperti itu setiap harinya. Bukan terbiasa, lebih tepatnya ia sudah muak.
Tanpa ada niatan untuk bergabung dimeja makan, Haechan melangkah dengan santai melewati tiga orang yang sedang bercengkrama itu.
Bahkan ayahnya tidak ingat tentang hari ini.
"Haechan kamu nggak mau sarapan dulu?"
Langkah Haechan terhenti sejenak diambang pintu saat ayahnya buka suara.
"Aku nggak nafsu makan," jawab Haechan seadanya.
"Kenapa? Ibu mu udah masak banyak sekaligus buat rayain tanggal pernikahan kita," ucap ayahnya.
Mendengar itu, Haechan tersenyum getir. Yang ayahnya ingat hanya tanggal pernikahannya dengan ibu tirinya, bukan kematian ibu kandungnya.
"Ibu? Udah berapa kali aku bilang kalau wanita itu bukan ibu ku," sahut Haechan.
"Haechan jaga ucapan kamu! Jangan jadi anak kurang ajar kamu!" bentak ayahnya.
"Oh ya? Ayah sendiri gimana? Yang ayah ingat cuma tanggal pernikahan kalian padahal hari ini juga tepat tanggal kematian ibuku," balas Haechan.
"Haechan kamu--!"
"Sudahlah sayang, biarin aja anak nggak tau diri itu. Entah mau jadi apa dia nanti kedepannya," ibu tirinya ikut menimpali.
Kedua tangan Haechan mengepal menahan emosi. Kalau Haechan tidak ingat ibunya, sudah ia tampar wanita itu detik itu juga.
"Kalau begitu silahkan nikmati waktu kalian. Rasanya aku nggak sudi jadi bagian dari keluarga ini lagi," decih Haechan yang kemudian berlalu pergi.
Haechan berjalan tergesa dengan rasa sakit dihatinya. Sebenarnya hal ini sudah terbiasa ia alami. Tapi tetap saja menyakitkan untuknya.
"Hyung tunggu!"
Tanpa diduga, Jisung tiba-tiba menahan pergelangan tangan Haechan.
"Lepas! Berani lo nyentuh gue?!" Haechan menepis kasar tangan Jisung.
"Hyung tunggu dulu aku mau bilang sesuatu," Jisung memohon.
"Apa yang mau lo bilang?! Lo juga mau ngatain gue kayak ibu lo tadi?!"
"Nggak hyung," Jisung menggeleng pelan, tatapannya terlihat teduh. "Aku mau minta maaf sama hyung kalau perkataan ibu tadi udah bikin hyung sakit hati."
"Maaf?" Haechan terkekeh hambar. "Bahkan meskipun ibu lo sujud dikaki gue sekalipun, nggak akan pernah bisa balikin semua yang dia rebut dari hidup gue."
Jisung terhenyak mendengar ucapan Haechan yang terasa menusuk di ulu hatinya. Tapi alih-alih marah, Jisung menarik senyumnya.
"Hyung, ayo berangkat ke sekolah bareng," ajak Jisung pelan.
"Jangan harap itu bakal terjadi," cetus Haechan dingin.
Setelah mengatakan itu, Haechan buru-buru pergi meninggalkan Jisung yang masih terdiam mematung ditempat nya.
Laki-laki itu menatap punggung Haechan yang semakin menjauh dan perlahan lenyap dari jarak pandangnya.
Sebenarnya Jisung tidak marah sama sekali ataupun tersinggung dengan perkataan Haechan barusan. Tapi yang ia pikirkan adalah--
--Apa se benci itukah Haechan padanya? Begitu pikir Jisung.
---tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Ellipsism
Fanfiction❝Jangan menunggu kalau dia sudah pergi, baru kamu menyesal.❞