Cklek!!
Bahu Jena yang baru aja membentur tembok belakangnya, sontak mendorong Jeffrey mundur melepaskan pagutannya. Jeffrey melirik benang saliva terulur diantara bibir mereka yang terpaksa terlepas.
Jena jantungan, bahkan gak sempet nafas, ngelihat mamanya berdiri mesam-mesem dibelakang Jeffrey sambil bawa sikat gigi, dan handuk biru tosca tersampir di salah satu bahunya.
Jeffrey menilik ekspresi Jena yang melongo menahan nafas, lalu menoleh mengikuti arah pandang Jena.
Jeffrey juga sama kagetnya melihat mama Jena yang sekarang lagi berkacak pinggang ke arah mereka. Jeffrey menunduk, sudah bersiap kalau akan digampar, dikata-kata merusak seorang gadis, atau diusir tidak diakui lagi sebagai calon mantu.
"Oalah.. jadi dicari kemana-mana, mau tante kasih sikat gigi sama handuk, malah mlipir ke kamar perawan ya Jeffrey?"
Jeffrey sudah siap kuadrat kalau semisal wajah tampannya di tempeleng mamanya Jena, ketika mamanya Jena mendekat ke arah mereka berdua.
"Maaf tan--
"Nih," Diluar dugaan bukannya sebuah telapak tangan yang mendarat di pipi Jeffrey, malah gantinya jadi handuk yang tersampir di bahu kanan Jeffrey, dan sebuah sikat gigi warna ungu disodorkan ke arah Jeffrey.
Jeffrey mendongak.
Mamanya Jena lagi angkat-angkat alis.
"Kayaknya kamar tamu lampunya suka ajep-ajep gitu gak sih Ven?!"
Raven yang lagi jalan jinjit mengendap-endap melewati depan kamar Jena langsung lemas seketika mendengar mamanya berteriak dari kamar adik perempuannya.
Iya, doi lagi mau kabur clubbing. Biasanya sih boleh sama mamanya kalau weekend, tapi ini masih malam selasa, dan besok dia ada matkul ekonomi pembangunan lagi, tapi acara doi ke clubbing hari ini gak bisa ditunda.
Makanya dia diem-diem pergi, soalnya dia gak jago bohong kalau sama mamanya. Apalagi pasti nanti bakalan merembet ke papa-nya kalau dikomporin sama Jena. Regas sih bagian tidur aja.
Raven menoleh menatap pintu kamar Jena yang terbuka lebar, padahal mamanya sedang membelakangi dirinya namun entah darimana dia tahu kalau Raven sedang mengendap-endap keluar.
Kalau tahu sedang ada ramai-ramai di kamar Jena ia lebih memilih lewat balkon kamar Abangnya saja, karena kamar Regas itu letaknya paling ujung dan yang paling istimewa sendiri karena ada balkonnya yang langsung mengarah ke kebun samping rumah keluarganya. Tapi doi sudah dandan, dan modis begini, masa disuruh main nyungsep-nyungsep tanaman kebun samping sih? Lagi pula siapa juga yang segila itu nekat loncat dari lantai 2.
"I-iya ma.." cicit Raven. Kayaknya sih emang lampu kamar tamu mereka bermasalah setelah terakhir kali dihuni tante Gita, yang memutuskan untuk tidak menikah selama hidupnya itu loh. Raven gak peduli sih sebenernya, jadi dia iyain aja.
Mamanya menoleh, keluar menghampiri Raven.
"Keliatannya udah lama gak dipakai juga ya? Mama takut lampunya gimana-gimana soalnya ajep-ajep gitu,"
Raven tergugu ketika bahunya ditepuk-tepuk mamanya pelan.
Mamanya menarik gagang pintu kamar Jena, hampir menutupnya, namun kepalanya masuk lagi.
"Jeffrey tidur kamar Jena aja ya, sleep well.."
Begitu kata mamanya Jena, sebelum menutup pintu kamar Jena sempurna. Lalu mengunci pintu tersebut, dan meletakkan kuncinya di meja lorong kamar anak-anak keluarga Arabella yang tepat di samping pintu kamar Jena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah;JJH
Fanfiction[M] 15+ "Jen, kamu kenapa pake celana saya?" "Loh gue kira celana gue, mirip soalnya," Jena mengendikan bahu acuh. "Lagian emang pinjem kagak boleh?" Jeffrey menyisir rambutnya, "Mm.. Tapi itu bekas celana kotor saya jen," (Dedicated to jaennie shi...