Jakarta dirundung kelabu sore itu. Sepasang netra menatap bagaimana bumantara nya mengeluarkan warna abu yang semakin kentara. Disebelahnya, berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi yang juga lama-lama ikut menengok kearah langit.
Mungkin dua atau tiga menit lagi, hujan akan benar-benar turun. Tapi dua insan yang tangannya saling bertautan itu masih saja berada di kawasan kampus. Mungkin bagi mereka yang membawa kendaraan roda empat, tak masalah mau hujan sederas apapun karena mereka pasti akan terlindungi. Masalahnya, bagaimana dengan mereka yang hanya menggunakan motor dan tidak terlindungi oleh apapun?
Suara gemuruh guntur juga samar-samar terdengar dari atas sana. Si tampan melirik sekilas pada gadisnya yang jelas diliputi rasa khawatir. Bagaimana jika seandainya mereka tidak bisa pulang tepat waktu?
"Nei?" suara itu muncul, bersamaan dengan langkah mereka yang terus terbagi pada lahan parkir sekolah.
Ajaib, suara lembut itu mampu menggerakkan kepala si dara dan menciptakan satu lengkungan manis diatas wajahnya. "Kenapa?"
"Mau disini dulu ngga? Sampe hujan nya turun terus berhenti? Apa mau lanjut aja?"
Si cantik berdiam sebentar tapi kemudian dia mengangguk. "Kayanya nunggu dulu aja deh, Jan. Aku takut nanti dijalan hujan terus kita ngga dapet tempat neduh."
"Iyaudah kalo gitu. Mau nunggu dimana? Kantin aja yuk?" ajak si tampan memberikan ide.
Tepat setelahnya, yang ia lihat adalah raut wajah merengut dari kekasih hatinya. "Engga mau ah. Tunggu di kanopi yang arah ke lahan parkir aja. Males aku di kantin mah."
"Lah nanti dingin ngga?"
"Kan kalo dingin ada kamu, tinggal aku peluk." Ia menjawab dengan gurauan tawa yang sangat manis, bersama kepalanya yang kemudian bersandar di lengan si tampan.
Satu tawa lugas berhasil lolos dari bibir keduanya. Kayanya mau hujan sederas apapun, ngga akan terasa dingin kalau ada Janu di sebelah kamu. Beneran, kata Neira mah.
Akhirnya kedua pasang tungkai itu mengakhiri perjalanannya pada sebuah kanopi yang sebenarnya tidak jauh dari lahan parkir. Namun tak lama, hujan turun begitu saja. Lumayan deras dan langsung meninggalkan beberapa genangan air di aspal-aspal yang agak cekung.
Janu mengeratkan genggamannya atas si gadis yang sebelah tangannya sudah terulur menyambut air hujan. Janu tau, Neira memang secinta itu dengan hujan. Bahkan kalau boleh dibandingkan, agaknya rasa cinta Neira kepada sang rinai sama besarnya kepada Janu.
Si tampan diam-diam tersenyum penuh bahagia. Biar dunia tidak pernah memijakkan bahagia kepada dirinya. Biar ayah selalu menyalahkannya atas apa saja yang terjadi di rumah. Biar satu semesta tidak pernah menerima kehadirannya, namun dia tetap bersyukur. Bersyukur bahwa Tuhan masih berbaik hati mempertemukan dirinya dengan gadis seindah lembayung senja itu, namanya Neira.
Kalau Janu tidak punya rumah untuk bisa ditinggali dan menemukan rasa aman, makan dia bisa pulang pada Neira yang tangannya selalu bersedia memeluk, yang bibirnya akan selalu bersedia mengucapkan kata-kata hebat seperti, "Jan kamu ngga sendirian. Aku ada di samping kamu. Aku janji, aku bakalan bener-bener ada di samping kamu."
-yang ajaibnya selalu bisa membuat hatinya tenang dan tak lagi dirundung gusar. Janu selalu punya alasan untuk tetap berada di dunia ini. Melangkahkan kakinya dan mengatakan kepada dunia bahwa dia baik-baik saja selagi Neira masih menjadi bagian di hidupnya, selagi Neira masih bersedia menggenggam dan memeluknya, selagi Neira adalah Neira, bukan orang lain. Dia hanya mau Neira.
Kepada langit-langit kelabu yang hari ini nampak lebih menenangkan, Janu ingin mengucapkan terima kasih. Entah untuk apa, dan entah sudah yang keberapa. Janu hanya tidak mau berhenti berterima kasih kepada semesta yang telah mengizinkan dirinya untuk tetap bertahan.
"Jan, coba deh cobain." Suara si cantik bergema di dalam telinganya.
Janu tersadar dari lamunan panjang atas dirinya dan semesta. Dengan raut wajah bingung dia bertanya, "Cobain apa?"
Tangan kiri Neira yang masih berada di dalam genggaman Janu kemudian dia angkat bersama tangan pemuda itu. Mengulurkan tangan si tampan keluar kanopi dan membiarkan hujan menyapa permukaan tangan Janu yang memutih karena dingin.
Anak itu tidak salah. Rupanya, membiarkan hujan jatuh diatas tangan, menangkan juga. Rasanya lucu sekali ketika rentetan air itu dengan sengaja menciptakan percikan kecil sebab beradu dengan telapak tangannya.
"Enak kan?" Neira berucap lagi dengan jenaka dan tawa manisnya.
Janu tersenyum dengan mata berbentuk bulan sabit yang indahnya bukan main. "Enakkan dicium kamu-" ia lantas merubah rautnya setelah mendapati raut wajah lain yang tidak bersahabat, "-di pipi maksudnya."
Tapi Neira tak menjawab. Kedua tangannya masih terulur menyambut hujan yang semakin deras dengan senyum tulus yang juga masih dia bagi.
"Nei..."
"hmm?"
Janu menarik tangannya lalu kembali menyatukan miliknya dengan milik Neira yang sudah basah karena si rinai. Mengundang tatapan bingung dari si cantik yang justru terlihat sangat menenangkan.
"Jangan tinggalin aku, ya?" Janu ngga pernah bohong tiap berucap begitu.
Neira terkekeh lalu dianggukan kepalanya sendiri. "Emang kapan sih aku pernah bilang bakal ninggalin kamu? Engga pernah, Jan. Aku kan selalu bilang, aku bakalan selalu ada di samping kamu. Ngga kemana-mana."
"Iya, aku percaya, cantik."
Senyum si dara terulur lagi. Sepertinya semesta sedang bahagia sewaktu menciptakan Neira ke bumi. Sebab seluruh bercak bahagia turut hadir di dalam wajahnya.
Kepada pemilik bulan Juli, laki-laki ini mencintaimu. Setulus hujan yang jatuh kepada bumi. Juga setenang arunika di jam tujuh lewat sepuluh menit.
Beruntung ya?
''•••'''
"Neira, kamu tau aku ngga pernah berani menaruh perasaan lagi kepada siapapun. Jadi , di depan hujan yang paling kamu kagumi, aku cuma mau bilang. Aku mencintaimu. Setulus hujan yang jatuh kepada bumi. Juga setenang arunika di jam tujuh pagi."
- Januareza Noah Adiyatra
"Janu kalau nanti tak lagi kamu temukan hangat di bagian dunia manapun, percayalah kamu masih menemukannya di aku. Aku masih punya ribuan hangat yang bakal cuma aku bagi buat kamu, bukan buat yang lain."
- Arunika Neira Almeira
KAMU SEDANG MEMBACA
Irreplaceable
Teen FictionBahkan jika aku berjalan di lorong yang panjang dan gelap tanpa ujung, selagi aku masih mendapati tanganmu menggenggam ku, tak ada satupun hal yang aku takuti.