1

37 4 3
                                    

Atsumu lupa bagaimana pertama kalinya mereka berdua saling bertanding, saling berkelahi, tak ada yang mau mengalah satu sama lain dalam hal apapun meski kebenarannya, Atsumu selalu merasa kurang dari Osamu.

Padahal, jika di lihat-lihat, Ia memiliki sedikit kadar ketampanan yang lebih dari Osamu, lihat saja wajah rembulan nya yang tenang, pun kelopaknya yang bak lentera mentari pagi. Senyum Atsumu tak pernah tenggelam, Ia juga lebih sering menyapa melalui kombinasi senyum dan iris manisnya daripada Osamu. Tak diragukan lagi, Atsumu adalah yang terbaik dari si kembar.

Tak ada yang mampu lolos dari jaringan pesona kembar surai kemuning itu kecuali gadis bersurai putih mutiara, wajah rembulan nya seolah mampu disandingkan bersama Atsumu. Tetapi gadis rembulan itu bak kenyataan yang selalu menampik Atsumu ketika kalah dari Osamu. Ia lupa jika Osamu pun memiliki wajah rembulan dan kelopak bak lembayung senja. Bukankah kalau di lihat-lihat Osamu lah yang lebih menarik? Mungkin begitulah iris samudra itu menatap si kembar.

Atsumu menarik bantalan hitam dari kedua lutut kekarnya. Merasa gerah, handuk kecil yang tersampir di pundak gagah nya Ia gunakan untuk mengusap tengkuk yang penuh keringat. Di sampingnya, Osamu melakukan hal yang sama. Tak kalah seksi, tak kalah manis.

"Hari ini kalian cukup tenang. Apa terjadi sesuatu? " Ojiro Aran, pemuda yang menjulang tinggi dengan kulit eksotis itu ber sedekap. Pandangan tajam di tujukan pada si kembar.

Sesuatu yang di maksud mungkin berwujud macam-macam di dalam kepala masing-masing. Mungkin Suna membayangkan si kembar berebut jaket atau puding. Sedangkan Ojiro Aran membayangkan si Kembar saling cemburu dan iri karena bunda mereka pilih kasih. Kita Shinsuke memilih tak membayangkan sesuatu, sebab sesuatu yang menyangkut si kembar selalu melompat jauh dari nalarnya.

"Huh kami baik-baik saja. Hanya saja Tsumu tak pernah berhenti iri padaku."

"Ha? Kapan aku iri padamu. Jelas-jelas akulah yang lebih hebat darimu Samu! " Tensi bicara keduanya mendadak meninggi.

"Kalian berisik, lebih baik kalian bergegas pulang. Istirahat juga merupakan bagian dari latihan."

Tak perlu dua atau tiga kali ke empat manusia itu memilih meninggalkan lapangan dalam diam. Osamu melangkah sedikit lebih cepat dari kembar kemuning, hatinya membunyikan sinyal yang tak bisa di jabarkan kata-kata. Di rumah, Ia yakin seseorang sudah menunggunya.

🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚

Empat manusia dengan paras sempurna itu mendiami kursi masing-masing di meja yang sama. Tamagoyaki, nikujaga, tempura, dan Onigiri favorit Samu telah berpose cantik di pandangan masing-masing.

Si kembar segera melahap apapun yang menarik setelah mendengar sang bunda berkata, "Nara datang untuk membantu bunda memasak loh." Keduanya kalap, bunda dan Nara justru terkikik gemas melihat si kembar.

Di bawah temaram lampu kuning di ruang makan itu, yang terdengar hanya bunyi denting sumpit dan suapan dua kembar. Tangan si gadis mutiara tiba-tiba tergerak, ujung ibu jarinya mengusap satu butir nasi yang lolos dari suapan Osamu.

"Osamu seperti anak kecil saja. Hihi." Itu dia. Senyum dengan sejuta pesona yang melebihi Atsumu. Kedua kembar membatu lalu jutaan kelopak mawar mewarnai pipi si kembar kelabu. Merasa iri, Atsumu menyuap sesendok nasi namun sengaja membiarkan butirannya menempel di luar mulut nya.

"Atsumu, jangan makan jelek seperti itu. Kau tidak malu dengan Nara chan?" Sang bunda mengerutkan alis, sedikit kesal dengan tingkah anak nakalnya yang tak habis-habis. Jemari lentik bunda mengusap semua butiran nasi di pipi Atsumu.

"Atsumu selalu lucu, ya." Kali ini suara indah keluar dari mulut si gadis, Atsumu boleh saja mengharapkan ucapan yang lebih menghangatkan hatinya namun bibir ranumnya hanya mampu tersenyum. Pipinya memerah. Tapi detik berikutnya Samu menyunggingkan senyum sinis pada Atsumu.

Kesal sekali. Sialan. Harusnya Atsumu yang diusap pipinya oleh gadis rembulan itu. Si kembar kemuning membiarkan kepalanya mulai menyalahkan bunda dalam diam. Irisnya melirik tajam pada Nara yang sibuk mengunyah tempura. Pipinya mengembung, tangan lentiknya terasa pas dalam memegang sumpit. Caranya makan entah mengapa terlihat cantik dan manis. Rasanya malam ini, Atsumu akan kesulitan untuk tidur.

Hari selasa adalah jadwal Atsumu mencuci piring setelah makan, jadwal memasak adalah bunda dan Samu yang menyapu dan mengepel lantai. Gemericik air didepannya seolah mengalir masuk ke dalam kepalanya. Atsumu kosong. Kepalanya hanya dipenuhi senyuman manis gadis mutiara sejak lima belas menit yang lalu.

Caranya berbicara, nada pelannya yang manis meskipun tak di buat-buat, Atsumu tak tahu semenjak kapan perasaan asing itu tumbuh di dalamnya. Yang lebih penting lagi, bagaimana caranya berhenti mengagumi gadis itu?

Lengan kekar Atsumu terjulur mematikan kran, pikirannya tergesa-gesa untuk segera menemui sang gadis yang ternyata sudah pulang. Atsumu berusaha menyembunyikan wajah kecewanya begitu melihat lampu rumah di samping kediaman mereka padam. Ia pasti sudah tidur.

"Kapan Nara pulang? "

"Baru saja. Kuantar pulang." Kembarannya menyahut dari balik selimut. "Matikan lampunya."

"Kenapa kau mengantarnya? Rumah kita hanya berjarak lima langkah. Dia tidak akan kenapa-napa kalau kau tidak mengantarnya." Lagi-lagi, si kembar surai kemuning meninggikan nada bicaranya. Ada sedikit sesak terselip dalam kata-kata itu, Atsumu menunduk kemudian menaiki ranjangnya yang berada di atas.

"Kenapa aku yang di atas? "

"Kemarin kau mengadakan undian siapa yang tidur di ranjang atas sekarang kau tidak mau? Kau tidak suka?"

"Tapi kan aku kalah." Katanya. Keduanya memandangi langit-langit kamar.

"Ya. Sebagai penghiburannya ku izinkan kau tidur di atas." Mendengar itu Atsumu terdiam, sesak di dadanya tak kunjung reda.

"Penghiburan macam apa itu."

"Diam dan tidur saja Tsumu. Tsumu itu sudah berjuang keras, tapi aku selalu saja satu langkah di depanmu."

"Hah? Tidak aku lebih hebat darimu..."

"Aku sudah berpacaran dengan Nara, Tsumu."

🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚🌚

BETWEEN THE TWINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang