Yamada Ryosuke, dirinya sedang berduka sejak empat hari yang lalu.
Entahlah. Sepertinya langit juga ikut menangis. Hujan sedari pagi, bahkan Ryosuke sendiri tidak tahu dia harus berbuat apa, selain menangis.
Ya. Dia menangis. Seorang Yamada Ryosuke menangis.
Tak bisa kah dirinya kembali? Ke pelukanku? Begitu jeritnya dalam hati.
Ingin rasanya dia menyusul pujaan hatinya. Ingin sekali. Dia sudah nekat berbuat macam-macam, namun dia masih mengingat teman-temannya, serta keluarganya.
Keluarganya sendiri sudah putus asa membujuk Ryosuke untuk keluar kamar. Dia tidak mau keluar kamar, sehari setelah melihat Chinen Yuri, kekasihnya itu meninggal. Di depan matanya sendiri.
Dia meninggal. Dan itulah yang membuat Ryosuke hampir depresi.
Baginya, Yuri adalah hidupnya. Dunianya. Separuh nafasnya. Katakan Ryosuke terlalu berlebihan, namun begitulah kenyataannya.
Bahkan Ryosuke tak menghadiri pemakaman Yuri, dia tidak mau.
Hanya mengetahui kabar saja sudah setengah depresi, apa lagi jika ikut menghadiri pemakaman? Bisa-bisa dia ikut menyusul saat itu juga.
"Ryosuke, dia sudah hampir tenang di sana. Kalau kamu sedih begini, bagaimana Yuri akan bahagia?" ujar Yuto, salah satu teman Ryosuke. Dia berbicara di depan pintu kamar Ryosuke yang dikunci sejak empat hari yang lalu.
"Diam. Kau tak tahu apa-apa," balas Ryosuke dengan nada bergetar. Ia masih menangis.
Ryosuke masih menyesali dirinya, mengapa ia meninggalkan Yuri di depan minimarket sendirian?
Seandainya saja ia tak meninggalkannya. Seandainya saja ia membawanya ikut masuk ke minimarket, persetan dengan motor yang bisa saja dicuri. Persetan dengan semua itu. Semua kata "seandainya" dan "persetan" masih terngiang di pikiran Ryosuke.
Lalu, entah apa yang ada di pikirannya. Pukul 2:36 pagi, ia pergi ke makam Yuri. Sendirian.
Dengan bunga Anyelir di tangannya, ia mendudukkan diri di samping makam Yuri.
"Yuri, aku bawa Anyelir. Bunga kesukaanmu. Aku tidak tahu mengapa dirimu suka bunga ini, bunga yang biasa dipakai untuk orang yang sudah meninggal. Mungkin kamu sudah tahu, ya, kalau kamu bakal meninggal tepat di hadapanku."
Ryosuke berhenti sejenak. Menahan agar suaranya tak bergetar seperti menahan tangis. Sialnya, air matanya sudah meleleh sejak ia memasuki pemakaman.
"Aku bawa cincin juga, rencananya aku ingin melamarmu Minggu ini. Tapi kamu malah meninggalkanku? Tega juga ya, kamu," ujarnya lagi sembari meletakkan sebuket bunga Anyelir dan cincin, yang sama seperti miliknya.
"Yuri, aku tahu, aku gila. Aku memang sudah gila. Tapi, mau kah kamu menerimaku? Menikah denganku? Yah, seharusnya kalimat itu aku ucapkan hari ini. Tapi kamu malah meninggalkanku. Jadi, tolong, jawab ya? Haha, aku yakin kok, di surga sana kamu sudah menjawabnya. Dan jawabannya, iya. Kan?"
Hening lagi. Ia menatap nanar pemakaman Yuri. Ia berpikir, kesalahan apa yang sudah ia perbuat selama ini?
"Yuri, tak bisa kah kamu membuka matamu sejenak? Aku janji tidak akan mengomelimu jika kamu berbuat hal ceroboh lagi? Entah ... Aku merindukan sifat cerobohmu, sifat kekanakanmu, sifat dewasamu, semua. Aku ... Aku hanya ingin kamu bahagia. Tapi sepertinya, kamu sudah bahagia, ya, di sana? Hahaha, aku ingin menyusul rasanya."
Setelah itu, Ryosuke menangis. Sampai matahari terbit, ia masih setia di sana. Menanti Yuri-nya, berharap ada keajaiban Yuri bangun kembali.
End.
penjelasan: Yuri meninggal karena ditembak tepat di bagian jantung. Saat itu ada banyak teroris berkeliaran di jalanan. Dan ... ya. Yuri ceroboh, ia tidak berhati-hati.