pertama

49 7 0
                                    

"Bodo!"

"Bego."

"Tengil!"

"Krucil."

"Mas Ray bisa ngalah, nggak sih! Capek tau, debat mulu."

Rayyan hanya menatap sinis wajah Kiya yang sudah memerah, lalu menaik-turunkan alisnya, membuat wanita di hadapannya kian kesal.

"Akutuh, nggak salah. Mbak Mey, yang mulai. Dia yang rebut perhatian Mas Ray dari aku."

Rayyan menghela napas, kembali ia menyaksikan adik sepupunya seperti ini lagi. Wajah memerah, dengan hidung berair karena menahan tangis dan lagi-lagi karena Kiya bertengkar dengan pacarnya.

"Kiy, wajar lah kalau Mey itu ngajak Mas jalan-jalan. Dia kan, pacarnya Mas. Kamu udah tiap hari jalan sama Mas, gantian dong. Mas juga pengen jalan sama pacar, nggak mulu-mulu jalan sama bocil kaya kamu, Neng. Huu!"

"Tapi Mas udah janji, anterin Kiya. Jangan ingkar janji, dosa!"

Protes Kiya, Rayyan kembali menghela napas. Mengusap halus surai rambut adik sepupunya.

"Sama Mas Pandu dulu, ya. Besok sama Mas Rayyan. Oke? Kasian Mey, udah dua bulan pacaran masa nggak pernah di ajak jalan, mau kamu kalau Mas mu yang ganteng ini dapat julukan cowok nggak tanggung jawab? Macarin doang, modal enggak. Iya? Mau?"

Kiya menatap mata Rayyan, lalu mengusap air mata yang sudah membasahi wajahnya. Lalu menyingkirkan tangan Rayyan dari kepalanya. Menatap penuh dendam ke arah wanita yang kini sudah menunduk di samping Rayyan, lalu beralih menatap kakak sepupunya.

"Matanya nggak boleh gitu, nanti loncat."

"Mas Panduuu, turun! Ngarem ae di kamar, kaya prawan."

Tak lagi, memperhatikan wajah Rayyan, Kiya menaiki tangga untuk menuju kamar kakak sepupu keduanya. Tak peduli dengan air mata yang mengalir deras dari matanya.

"Pelan, Kiya."

"Bawel, pergi sana. Ganggu pemandangan. Malesin."

Rayyan menggelengkan kepala, tingkah Kiya ini yang selalu menjadi persoalan untuknya melangkah menuju ke jenjang serius pada seorang wanita. Rayyan yang tak bisa menolak permintaan dari Kiya, dan tak bisa menomor duakan Kiya membuat pasangannya merasa tak di anggap, dan tak di mengerti.

Dengan mantap, Rayyan menggandeng tangan Mey, dan melangkah keluar. Ia tau Kiya sesenggukan meski tangannya tak berhenti menggedor pintu adiknya, yang mungkin kinj sudah menjadi singa karena tidur siangnya di ganggu.

Menoleh pelan-pelan, Kiya menjatuhkan bobot tubuhnya ketika menyadari kali ini, Rayyan benar-benar meninggalkannya demi seorang wanita. Selain Dewi, tante sekaligus mama dari Rayyan Adi Putra.

"Bego!"

Kiya mendongak, pintu kamar Pandu terbuka, lengkap dengan wajah menyebalkan juga datar, meski tak mengurangi kadar ketampanan dari seorang Pandu Cakra Putra. Tetap saja, dia membenci tatapan meremehkan itu.

"Pulang sana, ganti muka. Muka lo ngeselin."

Brak.

Pandu menutup pintu, tepat ketika bibir mungil dari seorang Kiya terbuka tanpa suara.

"Jangan teriak, nanti di kira gua mutilasi lo. Pulang, stop meratapi diri di depan kamar gua."

Kiya mengepalkan tangan, lalu meninju pintu kayu itu dengan kekuatan tangannya, sakit, tapi hatinya lebih sakit.

##

"Maaf," cicit Mey, ketika mereka sudah sampai di depan caffe yang di tuju. Rayyan menoleh, tersenyum lalu meraih tangan Mey di genggamannya.

"Kenapa? Soal Kiya?"

Mey mengangguk, tetap menunduk. Rayan tersenyum, lalu mengusa pelan rambut Mey.

"Gapapa, biar Kiya nggak terlalu nempel sama aku. Dia butuh latihan, untuk nggak membatasi pergaulan aku."

"Tapi,-"

Ucapan Mey terjeda, ketika telunjuk Rayyan berdiri tegak di depan bibirnya.

"Kiya nggak akan benci kamu lama, dia bukan pembenci yang hebat."

Mey menatap mata hitam milik Rayyan penuh harap, semoga saja.

##

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

mas sepupu mas suamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang