Langit Jakarta siang ini berpendar terang. Cahaya matahari yang terpancar seakan menyengat hingga ke tulang.
Ghazia Book Rentals yang difasilitasi dengan pendingin ruangan pun menjadi tempat ternyaman bagi para siswa dan mahasiswa yang masih enggan untuk pulang dan berkendara di bawah teriknya cahaya surya.
Begitupula para sahabat Ghaza yang kini sudah mengambil posisi nyaman mereka di ruangan lantai dua Ghazia Book Rentals yang telah menjadi basecamp tetap para pemuda tampan tersebut.
Enam orang pemuda dengan visual yang penuh pesona sedang sibuk dengan aktifitas malas-malasan mereka ketika Ghaza tiba di bibir tangga.
Jiyad terlelap nyaman di atas kasur sedangkan Dino yang berbaring di sebelahnya tampak tenggelam dalam aktifitas scrolling beranda Twitter dan sesekali diikuti dengan kekehan pelan karena isi twit yang dibacanya.
Tidak jauh dari posisi keduanya, ada Hanan yang berbaring di lantai dengan kepala diletakkan di ujung kasur sebagai bantal. Lelaki itu juga terlihat sibuk mengutak-atik isi smartphone-nya dengan wajah serius.
Di kedua sofa yang menghadap langsung ke kaca besar yang menunjukkan pemandangan jalan raya, terdapat Fawwaz dan Ochi yang sedang mengobrol. Ghaza menghitung dalam hati dan tepat pada hitungan ketiga, kedua pemuda itu tampak tertawa dengan ekspresi konyol mereka. Pasti kedua temannya itu membicarakan hal-hal aneh yang tidak berfaedah sama seperti biasanya.
Sedangkan di sudut ruangan ada Uwais yang duduk dengan mata terpejam. Sepertinya lelaki itu tertidur, dilihat dari posisi tidak nyamannya dan sebungkus keripik kentang besar yang masih berada di dalam pelukan.
Ghaza menggeleng-gelengkan kepala melihat pemandangan random di hadapannya. Ia sudah tidak lagi surprise dengan apa yang dilihatnya dan kabar baiknya pemandangan hari ini lebih baik daripada pemandangan yang pernah dilihatnya beberapa kali sebelumnya. Setidaknya tidak ada sampah yang memenuhi ruangan itu, atau sepertinya belum. Memikirkan kemungkinan buruk itu membuat lelaki berkacamata itu menghela nafas panjang.
“Nan!” seru Ghaza.
“Apaan dah, anjir! Ganggu lo! Kalah dah gue!” Hanan merespon spontan karena fokusnya terpecah akibat mendengarkan panggilan Ghaza. Lelaki rupawan itu mengembuskan nafas kasar ketika menatap layar ponselnya yang menunjukkan bahwa ia telah gagal memasuki level baru dari game yang dimainkannya.
Ghaza melotot mendengar respon Hanan yang berisi umpatan.
“Nan! Ada si Zia di bawah! Lo ngapa ngumpat dah. Ck!”
Inilah Ghaza yang sebenarnya. Lelaki yang memiliki tinggi 182 centimeter itu merupakan sosok kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya, terutama Ghazia karena gadis itu adalah si bungsu dan adik perempuan satu-satunya yang ia miliki. Maka pantang bagi Ghaza melihat adiknya dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Ghaza sangat menjaga Zia terutama dari kedua belas temannya yang jika sudah berkumpul akan menimbulkan kebisingan dan mengeluarkan sifat ajaib mereka.
Oleh karena itu Ghaza selalu mewanti-wanti kepada teman-temannya untuk tidak bersikap kasar dan seenaknya termasuk mengumpat apabila sedang berada di basecamp, terutama ketika ada Ghazia di lantai bawah. Apabila melanggar harus membayar denda sejumlah seratus ribu rupiah. Ghaza dilawan!
Kedua belas temannya pun menyanggupi permintaan Ghaza karena sebagian besar dari mereka juga memiliki adik perempuan yang tentunya juga tidak ingin adik-adiknya terkontaminasi dengan sifat-sifat random bin ajaib mereka ketika sedang bersama. Namun kali ini Hanan kebablasan.
Mendengar decakan Ghaza yang ditujukan kepadanya membuat Hanan berusaha keras memutar otak untuk mencari alasan agar dapat menghindar dari membayar denda. Yang benar saja, uang sejumlah seratus ribu rupiah itu bukan jumlah yang sedikit baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
||ʙʀᴏᴛʜᴇʀꜱ ꜱᴀᴇɴɢʜᴡᴀʟ||
Teen FictionHanya sebuah kisah tentang 13 orang manusia yang dipertemukan oleh beberapa kejadian tidak terduga. 13 anak manusia dengan 13 sifat, sikap dan pandangan hidup yang berbeda bersatu dalam sebuah ikatan yang menyenangkan, menegangkan dan mengenyangkan...