Dering alarm yang memekakkan merangsang sepasang tangan mungil meraba-raba meja kecil yang ada disebelah kasur. Perempuan itu menggeliat pelan -masih dengan mata tertutup- kemudian menarik pelan selimutnya.Bangun merupakan hal yang mudah, bangkit dari kasur ialah hal besarnya.
TOK... TOK... TOK...
Pintu diketuk pelan disusul dengan suara halus seorang perempuan.
"Zahra, kamu udah bangun? Aku udah shalat, mukenahnya udah kusiapin di sebelah yaa."
Zahra tercenung, dengan mata sayu dan ruh yang masih setengah bersemayam di alam mimpi, ia bangkit menuju kamar mandi. Hari ini genap seminggu perantauannya di negeri tetangga, teringat olehnya kesepakatan yang ia ambil kali pertama tiba di asrama dengan teman sekamarnya, Nadhia. Mereka setuju untuk menjadikan ruang kecil pemisah antara kamarnya dan Nadhia sebagai mushola. Tak hanya itu, mereka juga sepakat untuk berbagi mukenah yang nantinya akan diganti bergantian setiap minggu --alternatif dari Nadhia untuk menghemat mukenah karena mereka masih harus membawa satu lagi untuk di luar.
Setelah melaksanakan shalat subuh, Zahra bersandar di dinding mushala sambil memperhatikan ruang tamu, ia terfokus pada Nadhia yang sedang mengaji. Zahra bersyukur memiliki roommate sepertinya, diam-diam ia memendam rasa kagum terhadap kepribadian yang dimiliki Nadhia. Salah satu yang ia sukai darinya ialah keahliannya dalam perbendaharaan emosi, dilihat dari caranya bertutur dalam berbagai suasana.
"Zahraa... Zah," samar-samar tapi pasti suara khas jawa itu terdengar lirih. "Zahraaa...," kali ini ia merasakan jawilan halus di pipinya.
Zahra membuka matanya perlahan."Loh, kak Nadhia ternyata.Hehehe," katanya sambil menguap pelan.
"Dek Zahra kalau mau tidur lagi jangan di sini, nanti masuk angin. Ayo ke kamar nanti sakit loh," ucap Nadhia dengan intonasi rendah.
"Kak, suara kakak halus banget. Aku jadi makin ngantuk."
"Waduh dek, kok malah ndelosor di sajadah toh? Ayo sini kakak bopong ke kamar aja," Nadhia mengulurkan tangannya membantu Zahra berdiri. "Hari ini kamu ndak ada kelas bahasa tah?"
Gerakan membuka pintu Zahra terhenti sejenak. "Nanti siang kak, kakak ada jadwal juga pas siang?"
"Enggak," Nadhia tersenyum. "Aku pagi jadwalnya, kamu tidur aja, biar pagi ini aku yang masak."
Zahra hanya menggeleng pasrah sambil tersenyum miring. Pagi di asramanya terasa nyaman oleh lembutnya sifat teman sekamarnya itu.
***
Dulu, sepetak tanah yang menjorok kedalamdi pojokan asrama selalu menjadi tempat favorit untuk digambar bagi Zahra dan Aira dikala musim hujan tiba. Air yang menggenang disana selalu menjadi persinggahan para ibu kodok untuk bertelur. Tekstur telur kodok yang berlapis-lapis layaknya biji selasih memberikan banyak ilham baru pada dua artis muda tersebut, apalagi imajinasi Aira dalam mengkreasikan doodle sangat lucu, ia bahkan pernah menggambar telur kodok itu sebagai biji buah naga yang tenggelam bahagia di genangan jus berumput --Zahra terbahak-bahak melihatnya. Kenangan kecil semasa mondok dulu selalu terbawa hingga kuliah sampai saat ini, Zahra merantau di Negara tetangga.
Siang ini matahari memancarkan sinarnya sepenuh hati. Bunga-bunga bahkan menyambut dengan pancaran spektrum warna yang memanjakan mata. Musim semi di Korea selalu dinanti oleh para pecintanya.
Zahra tengah berjongkok sambil menggambar sketsa menggunakan pensil kayu, di hadapannya terdapat sebuah pohon sakura yang bunganya setengah mekar. Mungkin esok pagi akan menjadi puncak musim semi. Batinnya sambil tersenyum miring.
"ANYEOONG!" seorang perempuan berponi menepuk pundak Zahra.
"Wutt! Kaget sumpah," ucap Zahra sambil mengelus dadanya."Mesti kok anak ini suka banget teriak-teriak."
"Wae mul-eulbogo issseubnikka? (Ngapain kamu ngeliatin genangan air?)"
"Hah? Apa? Gwa masih belum mudeng bahasa korea full."
"Iya nih, Karina mentang-mentang udah ekspert di Korea pakek bahasa terus, di asrama juga masa'," adu perempuan berpasmina hijau sambil memanyunkan bibirnya.
Karina memutar bola matanya. "Huft, ngapain sih lu, ngeliatin genangan aer kek anak hilang gitu sih Zaaah?"
Zahra tak langsung menjawab, ia malah berdiri kemudian berjalan ke arah sebuah gedung bertuliskan 'jagug-eo annaeseo' (bimbingan berbahasa nasional).
"Bisa-bisanya ya, orang jelas-jelas lagi gambar sketsa gini," katanya sambil menunjukkan sketsa sebuah genangan air di bawah akar Sakura, yang dibalas dengan tatapan kagum perempuan berpasmina dan cibiran dari yang berponi.
Di dalam kelas, terdapat beberapa anak cowok yang tidak begitu Zahra kenal. Yang ia tahu dari Nadhia, jadwal pelatihan bahasa korea siang hari adalah anak-anak dari jurusan seni dan dua orang anak kedokteran. Ia tidak terlalu mempermasalahkan siapa-siapa mereka, yang harus ia pastikan hari ini setidaknya ia sudah dapat memahami dasar-dasar berbahasa korea.
Saat pelajaran berakhir matahari telah tergelincir hingga mengeluarkan semburat jingganya. Sang tutor pria berkebangsaan korea pun izin undur diri lalu berjalan meninggalkan kelas sembari mengingatkan ulang tugas yang harus dikerjakan. Semua murid beranjak dari kursi masing-masing, tidak dengan Zahra yang sedang merapikan sketsa genangan airnya yang hampir sempurna.
Sedikit sentuhan lagi akan menyempurnakan sketsa itu, hingga sepasang tangan menggebrak mejanya. "Anyeong girls gat-i meog-eul laeyo? (kalian mau makan bareng ga?) itung-itung kenalan, kan kita seujurusan," ucap seseorang pria berkaos manchester.
Zahra menatapnya tak percaya. Nih orang mukak ga berdosa banget. Batinnya sambil menghapus perlahan sketsa yang tak sengaja ia coreng karena terkejut.
"Eh... Lu si Ardiansyah ga sih?gat-i meogja! (Ayo nongki!) Biar akrab anak-anak seni," Karina yang berada tepat di sebelah Zahra menyahut dengan semangat.
"je ileum-eun Daffa ibnida (Nama gua Daffa), betewe tuh anak seni yang punya rumah sendiri di Korea ajak juga. Geuui ileum-eun mueos-ibnikka? (Siapa namanya?)"
"Wehh... Dangsin-ui hangug-eoneun kkwae johseubnida! (Mantep juga bahasa korea lu!) Kalau ga salah namanya Aji. Dari keluarga Raynold, anaknya chef terkenal, kaya dia broh." Ucap Karina sambil mengarahkan dagunya ke arah orang yang dimaksud.
Dalam sepersekian detik setelahnya, Daffa menarik pundak seorang pria yang sedang sibuk dengan gawai miring di hadapannya, hingga badannya berputar menghadap mereka berempat --alifia duduk diam di sisi kiri Karina. Mata Zahra melebar melihat sikap Daffa barusan, batinnya semakin menjadi-jadi.
"Ileon jenjang? (Apa sih?)" bentak pria berhoodie oranye itu, ia menyapu pandangannya ke arah perkumpulan manusia yang tak asing di hadapannya.
"Jangan bilang lu lagi maen battle ground?!" Daffa merespon bentakan itu dengan antusias.
Raut pria itu berubah melebihi antusiasme Daffa. "Jangan bilang lu juga maen?!"
Setelah Daffa mengangguk pasti, keduanya bersorak sorai kemudian berpose seolah-olah sedang memegang senapan. Pandangan datar di sorotkan mata Zahra, Karina dan Alifia. Melihat dua orang yang saling menemukan itu, mereka yakin tak lama lagi akan ada pasangan sohib freak yang tercipta. Mereka hafal betul nama si pria berhoodie oranye, wajah chef yang memenangi kejuaraan terkenal itu terbingkai dalam wajahnya, pria itulah si Aji Raynold anak orang kaya.
YOU ARE READING
Lampau Terbabit
FanfictionZahra adalah salah satu diantara ribuan penggemar yang beruntung. Ketekunannya mendalami bakat melukis mengantarkannya ke negeri gingseng, negara tempat tinggal boyband yang ia gemari (The Boyz). Tanpa ia duga, suatu kejadian menyebabkan hidupnya d...