1

3 0 0
                                    

"Iya Pak, saya sudah menghubungi mobil jenazahnya, sebentar lagi sampai," ucap bapak kepala desa.
"Kasihan sekali ya, padahal masih muda," "Iya, Bu. Saya jadi takut deh tinggal di sini," Ibu-ibu yang berada di sekitar lokasi kejadian sibuk mengobrol satu sama lain.
"Permisi, Ibu-ibu, ini petugasnya sudah sampai, harap memberi jalan," imbauan bapak kepala desa itu segera ditanggapi dengan bubarnya ibu-ibu tersebut.

Sekiranya satu lustrum telah berlalu sejak kejadian tersebut. Tersisa sebuah pondok yang masih ditinggali seorang penjaga daerah itu. Warga lainnya sudah berpindah entah ke desa tetangga, atau ke kota-kota besar. Kabarnya, mereka sering mengalami kejadian tidak mengenakkan di tempat yang dulunya adalah sebuah desa itu.
Suatu hari, aku dan teman-temanku tersesat saat sedang bermain ke hutan dan tak sengaja kami menemukan pondok itu. Aku pun mengetuk pintu pondok itu. Tentu saja karena teman-temanku penakut.

"Permisi," ucapku sambil mengetuk pintu.
"Iya, sebentar" sahut suara serak dari dalam.

Jujur, kami terkejut akan dijawab secepat itu. Tetapi, tentu aku berlagak biasa saja. Tak berapa lama kemudian, keluarlah seorang pemuda dari pondok tersebut. Jujur, kami terkejut lagi, kali ini karena kami mengira yang tinggal di dalam pondok tersebut adalah seorang lanjut usia. Tentu aku juga berlagak biasa saja.

"Ada apa-ehem! Ada apa ya adik-adik ke sini?" Tanya pemuda tersebut, yang ternyata suaranya tidak serak setelah berdeham.

"Maaf, kak, kami tersesat di sini terus ngeliat ada rumah, jadi kami coba datengin," sahut temanku polos.
"Oh iya, jalan keluarnya di mana ya, Kak?" Tanya temanku yang satu lagi.
"Loh, buru-buru amat. Saya udah lama ga liat orang lewat sini. Ngobrol dulu dong!" Ucapnya sambil mempersilakan kami duduk. Padahal hanya ada sepasang kursi di teras itu. Akhirnya, kami terpaksa mendengarkan cerita pemuda itu. Aku tidak menyimak, hanya mengiyakan saja.

Tak terasa, matahari sudah mulai tenggelam. Katanya, daerah ini angker kalau sudah malam. Takut, aku pun segera menyela pemuda tersebut.

"Kak, udah mau malem nih, kami harus pulang. Kira-kira lewat mana ya?"

"Oh iya, sayang banget. Ya udah, kalian ikutin jalan itu aja," jawabnya menunjuk jalan setapak yang sebelumnya tidak terlihat oleh kami.

"Ya udah Kak, kami pulang dulu ya," pamitku kepada pemuda itu.
"Pulang dulu Kak!" Pamit teman-temanku yang lainnya.

"Iya, kapan-kapan mampir lagi ya," ucapnya seraya beranjak dari kursi, melambaikan tangan pada kami yang menyusuri jalan setapak meninggalkan tempat itu.

Benar saja, tak berapa lama, kami sampai di luar hutan dan segera menuju desa kami.

Yang benar saja, kami kan tersesat tadi. Kenapa juga kami mau mampir lagi mendengarkan cerita membosankan miliknya?

Sapu TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang