2

0 0 0
                                    

Tetap saja aku dan teman-temanku mendatangi pondok itu lagi. Ya, mungkin ceritanya tidak terlalu membosankan. Tetapi, aku baru sadar kalau ia menceritakan hal yang sama setiap kali kami datang.

"Dulu, di sini desa loh, rame, banyak orang. Ada seorang gadis cantik yang tinggal di desa ini. Ga cantik doang, baik juga lagi, semua pemuda di desa itu suka gadis ini. Semua pemuda termasuk anak orang paling kaya di desa," pemuda itu mulai bercerita.

"Kakak juga dong?" celetuk seorang temanku.

Pemuda itu hanya membalas dengan senyuman dan melanjutkan ceritanya.

"Ya, namanya juga suka, pasti dikejar dong. Tiap hari, pemuda ini datang ke rumah si gadis. Bawain parfum lah, buah lah, daging, apa aja juga dikasih."

"Bucin banget ya kak?" celetuk temanku lagi, disambut dengan kekehan pemuda itu.

"Hahaha ya gitu lah. Tapi, yang pemuda ini gatau, gadis itu sudah punya kekasih. Ya gimana, orang si gadis terima-terima aja hadiah si pemuda ini. Kirain ngasih kesempatan ke si pemuda ini. Suatu hari, kekasih gadis ini kebetulan melihat pemuda itu sedang memberikan hadiah ke sang gadis."

"Marah tuh pasti," celetuk temanku lagi-lagi memotong cerita.

"Aduh, diem dulu dong. daritadi motong cerita mulu, lanjut kak," seorang temanku yang lainnya marah.

"Hahahaha, gapapa kok. Ya iyalah marah, kekasih gadis ini langsung suruh pemuda ini buat ga dateng lagi. Pemuda itu tanya dong kenapa, terus kaget lah si pemuda ini pas dibilang mereka sepasang kekasih. Pemuda itu langsung pulang, kecewa," pemuda itu berhenti sejenak, "udah, gitu aja," sambungnya.

"Yah, masa ga ada lanjutannya kak?" protes temanku yang sering nyeletuk tadi. Pemuda itu menggeleng, sambil membereskan cangkir-cangkir berisi teh manis yang sudah berpindah ke perut kami. Tak berapa lama, pemuda itu kembali dari pondoknya, menatap kami bertiga, lalu menatap ke arah langit yang sudah mulai gelap.

"Udah gelap nih, ga pada pulang apa?" pemuda itu bertanya pada kami.

"Loh, ngusir nih ceritanya?" jawabku bercanda.

"Nggak gitu, biasa kalian ngeluh mau pulang kalo udah gelap begini," balasnya.

Kami pun mengiyakan dan segera pamit pulang.

Sesampainya di rumah, aku segera membasuh diri menghilangkan bau keringat yang menempel. Setelahnya, saat sedang mengeringkan rambutku dengan handuk, ibuku memanggil menyuruhku untuk makan malam.

"Nak, kamu ke mana aja sih berapa hari ini? Jadi sering pulang pas udah gelap," tanya ibu membuka percakapan.

Tentu saja aku jawab dengan jujur, kuceritakan awal kami tersesat di hutan dan menemukan sebuah pondok. Sampai dengan cerita yang sering kami dengar dari pemuda itu pun kuceritakan dengan lengkap saking hafalnya. Anehnya, ibuku memasang raut wajah bingung.

"Lah, mana ada yang tinggal di situ? Bohong aja kamu ya," komentar ibuku.

"Ih, serius Bu! Tanya aja temenku itu pada kalo ga percaya," jawabku sambil melahap sesuap nasi.

Ibuku lalu terdiam. Suasana tetap hening sampai aku selesai makan. Ya sudah kulanjutkan saja rutinitas malamku seperti biasa, kemudian terlelap dalam kesunyian malam.

Sapu TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang