Dua hari sebelum keberangkatan yang akan menjadi awal kisah ini, bandara kali ini bukan tempat perpisahan dan akhir dari banyak cerita seperti yang sering dibaca perempuan bermata minus yang enggan menggunakan kacamata. Dia sedang mengenggam buku berwarna jingga favoritnya, yang dibaca berulang kali tapi tak pernah menemukan kata bosan. Dentingan ponsel mengambil alih fokus dunia yang sedang dia selami. Tapi hanya dilirik sekilas, lalu diabaikan. Kembali menengelamkan wajahnya ke dalam buku.
Abelyn Khafa Alquinsha, gadis itu memang sukar menamatkan buku dengan cepat. Bukan karena dia tidak suka membaca, sebaliknya karena terlalu mendalami setiap tulisan yang dibaca hingga menghafal setiap detail dari diksi dan alur cerita adalah sesuatu yang harus dinikmati---selain karena dia adalah seorang Obsessive Complusive Disorder (OCD) yang sering membuat Abel mau tidak mau bersikap repititif terhadap hal-hal yang dilakukannya. Mencintai sastra adalah satu-satunya dunia yang bisa dia tempati untuk meluapkan dan menerima banyak perasaan yang sulit dilakukan dan diucapkan di dunia yang terlalu realistis dan spontan. Tapi hanya satu yang Abel tidak suka ketika menamatkan cerita, yaitu tentang bagaimana cerita akhir yang terkesan menyedihkan. Ya, setidaknya jika di dunia yang dia tinggali banyak kesedihan yang disaksikan dan dirasakan secara nyata, dia bisa sebentar saja melarikan diri ke dalam banyak cerita bahagia hasil imajinasi para penulis yang menyenangkan.
Pintu perpustakaan dibuka oleh seorang laki-laki berperawakan tinggi, masuk dan duduk tepat di depan Abel. Gadis itu mengerlingkan mata seraya berkata kepada bukunya "Hari ini aku sudahi dulu ya bacanya". Bersamaan dengan itu, pintu perpustakaan kembali terbuka, hanya sedikit. Dari pintu yang hanya terbuka selebar 30 derajat itu, memunculkan kepala Una yang matanya sedang mencari keberadaan Abel. "Tepat waktu." Kata Abel mendekat ke arah teman sebangkunya yang sedari tadi ternyata mencari-cari keberadaan Abel untuk diajaknya ke kantin. "Gue cariin dari lantai tiga, dua, dan ujung-ujungnya di lantai satu, untung ga Gue buat pengumuman di mading." Abel tertawa kecil mendengarnya, mereka berjalan ke luar perpustakaan menuju pagar depan sekolah. Kelas dua belas diawal tahun ganjil memang tidak belajar seperti biasanya, karena waktu mereka dua minggu saja di sekolah dan hanya diisi dengan perisapan-persiapan internship yang akan dilaksanakan di perusahaan. "Devan, menyatakan perasaanya ke gue," Abel mengatakannya seraya menghela nafas panjang. Dan direspon dengan tatapan tidak percaya dari Una.
"Gue ga pernah notis Lo sama dia".
"Gue aja ga nyangka, seharusnya dia ga suka Gue?"
"Farel gimana?"
"Gue ga pantas cemburu buat seseorang yang bahkan nggak Gue milikin. Tapi ya namanya perasaan, Gue jungkir balik sekalipun susah untuk ubah haluan."
"Gue paham sih, memang sulit. Tapi gapapa, nanti Lo punya waktu tiga bulan untuk menjauh dari dia, manfaatkan sebaik mungkin oke?" Una, gadis itu berkata dengan segenap penghayatan, tangannya berada dikedua bahu sahabatnya itu. Seolah seperti sedang mentransfer sedikit energi positif yang ada dalam dirinya. Abel pun mengangguk.
Tatapan Abel jatuh pada manusia yang menjadi topik pembicaraannya. Bukan, itu bukan Devan yang tadi malam menyatakan perasaanya kepada Abel. Tapi Farel, laki-laki yang ada di hadapannya sekarang adalah laki-laki yang duduk tepat di depan Abel sebelum akhirnya dijadikan alasan untuk mengakhiri bacaanya tadi. Abel benar-benar membuat batasan yang nyata antara Farel dan dirinya. Laki-laki yang menjadi primadona di sekolah dan disukai banyak perempuan, laki-laki yang karenanya Abel memilih untuk tidak jatuh hati terlalu dalam, karena Abel tau pada akhirnya itu akan menghancurkan dirinya terlalu dalam, pula.
Abel ini hanya gadis sederhana, dibandingkan dengan perempuan yang setiap harinya berhembus kabar menyukai laki-laki yang ada di hadapannya. Tidak juga cantik, bukan pula murid yang dihafal guru namanya karena pintar, tidak juga pandai memadu-padankan fashion yang terus saja berubah seiring waktu. Dia hanya gadis yang ketika memakai eyeliner saja sampai sekarang tidak sempurna. Benar-benar sesuatu yang berbanding terbalik, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
PHILE
Teen FictionIni tulisan untuk Langit, Laki-laki yang katanya jatuh cinta karena melihat ekspresiku ketika di photobooth hari perpisahan sekolah, saat aku dan dia sedang menunggu giliran. Alasan yang konyol dan juga paling membuatku bingung sampai sekarang. Tap...