1 : Tea

3.1K 337 146
                                    

L E V I A C K E R M A N

- Tired!Levi x Reader -

AU

     Beberapa minggu terakhir, Levi sering telat tidur atau bahkan tidak tidur sama sekali. Tumpukkan kertas itu cukup membuat Levi menjadi sedikit pemarah, namun aku memahami semua itu karena ia tidak memiliki waktu istirahat yang cukup. Sering kali aku membujuk Levi untuk tidur lebih awal, tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana, duluan saja. Beberapa hari terakhir, aku dan Levi semakin memiliki jarak. Dan, aku tidak bertindak apapun karena mungkin itu yang ia butuhkan.

     Malam ini, aku terbangun dengan suara kesal Levi. Ia masih berada di depan laptop miliknya dan jam menunjukkan pukul dua pagi. Aku menghela napas dengan berat dan mencoba untuk menghampiri Levi. Walaupun aku mengetahui bagaimana ia akan mengusirku.

     Aku berdiri di pintu masuk ruang kerja Levi dan memerhatikan betapa lelah dirinya. Kantung matanya semakin terlihat dan wajahnya sangat masam. Aku tidak bisa melihat Levi memaksa dirinya sendiri dan membiarkan dirinya sakit.

     "Levi."

     "Leave me alone, woman."

     Kedua matanya masih tertuju pada laptop dan tidak melirik ke arahku sama sekali. Terkadang aku ingin menyalahkan Erwin karena telah memberinya banyak beban, namun ini semua sudah menjadi resiko Levi yang menjadi partner Erwin. Aku yakin, Erwin pun memikul beban lebih berat dari Levi.

     "Mari istirahat sebentar. Aku akan membuatkan teh untukmu."

     "Aku tidak butuh istirahat dan aku tidak butuh kau untuk menceramahiku pada pukul dua pagi. Lebih baik kau tidur saja."

     Aku menghela napas dengan berat dan menghampirinya. Levi tidak terlihat seperti peduli, namun aku akan tetap melakukannya. Aku mengelus lembut pundak Levi dan mengecup pipi kanannya.

     "Baiklah. Jangan tidur terlalu pagi, love." Pintaku.

     Aku kembali ke kamar dan sedikit merasa sedih. Namun, hal ini bukan pertama kalinya sehingga aku mulai terbiasa. Aku merasa malam ini Levi tidak akan tidur, jadi mungkin tidak apa jika aku tidur di tengah ranjang dengan tubuhku membelakangi pintu masuk kamar.

     Sesaat setelah aku memejamkan mata, aku merasakan salah satu tanganku terangkat dan aku memutuskan untuk membuka kedua mataku. Levi mencoba untuk tidur dipelukanku dengan wajahnya berada di leherku. Ia menempatkan tanganku pada rambutnya dan mengisyaratkanku untuk mengelus lembut rambut hitam indah miliknya.

     "Tunggu disini, Levi. Aku akan membuatkanmu teh." Ujarku lembut dan mencium hidung Levi.

     Namun, saat aku mencoba untuk melepaskan genggamanku pada Levi, ia menahanku untuk berada di posisi seperti ini.

     "(y/n), Stay."

     Suaranya terdengar lirih. Akupun setuju dengan permintaannya dan kembali mengelus lembut rambut Levi. Pelukan Levi semakin erat dan aku merasa ia ingin mengungkapkan sesuatu. Sesekali aku mencium kening Levi untuk menenangkannya dan tidak memaksa dirinya untuk bercerita sesuatu.

     "Sorry."

     "Aku tidak bermaksud kasar dan mengusirmu."

     Suaranya sangat kecil dan hampir tidak terdengar olehku. Aku paham bahwa Levi memang bukan pria yang dengan mudah mengatakan perasaannya begitu saja. Bahkan, butuh beberapa tahun untuk Levi menunjukkan sisi rapuhnya padaku. Dari semua tingkah laku dan perkataan Levi yang terdengar kasar, aku memahami bahwa ada sisi lembut yang ia sembunyikan.

     "It's okay, Levi. Aku tahu kamu tidak bermaksud seperti itu. Kamu hanya lelah."

     Ada jeda keheningan untuk beberapa saat. Aku berpikir bahwa Levi sudah tertidur, namun ia masih menggenggam erat tubuhku.

     "Terima kasih."

     "Karena telah menerima diriku apa adanya, bahkan kau tahu seberapa rusaknya diriku."

     Levi terus menggenggamku erat dan mendekatkan wajahnya pada leherku. Aku paham bahwa ia tidak ingin aku melihat wajahnya disaat ia merasa rapuh seperti ini dan aku menghargai itu. Levi menganggap bahwa dirinya yang tidak bisa mengekspreksikan perasaan adalah tanda dari dirinya yang rusak. Namun, aku tidak berpikir demikian.

     "I don't think you're broken. Kamu hanya mengekspreksikan rasa kasih sayang dengan cara yang berbeda dan unik." Jelasku.

     Levi tidak membalas pernyataanku dan ia mulai memejamkan kedua matanya. Aku menempatkan daguku pada rambut Levi dan mengelus lembut tengkuk dan rambutnya. Walaupun ia tidak bilang secara langsung, namun aku bisa melihat ia menyukainya.

     "Don't leave before I wake up." Ujarnya, hampir berbisik.

     Aku tertawa kecil dan semakin memahami love language yang Levi gunakan. Pria ini sangat unik dan aku sangat bersyukur memilikinya dalam hidupku.

     "I do love you too, Levi."

     "Always."

One Shots [Levi Ackerman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang