Chapter 1 - Pangeran penyuka kucing

25 2 2
                                    


Provinsi Orenia, Kota Keberkahan Adhika. Akhir musim semi. 719 AR.


"Hei, hei! Berhenti!" Teriak Trig dari dalam tumpukan keramaian. Dia sedang berlari secepat yang ia bisa sambil terkadang berhenti agar tidak bergesekan dengan pejalan kaki yang terlihat kotor. Bukan pengejaran yang efektif.

"Aku ... masih ... harus ... belanja ..." Trig terengah-engah dan mulai berlari kecil. Orang-orang di sekitarnya hanya menatapnya dengan aneh atau tidak peduli sama sekali.

Si anak kecil yang mencuri kantung emasnya telah menghilang ke arah pelabuhan kota, dan berhubung lututnya sudah nyeri, Trig hanya akan berhenti mengejar anak itu. lagi pula dia tidak pernah menyimpan koin emasnya di satu tempat. Pria ini mengusap keringatnya dan menyender ke pilar gapura di depan pelabuhan itu untuk memulihkan napasnya.

Dia bisa melihat sungai besar di mana perahu-perahu kecil maupun besar membuat perhentian. Beberapa akan digunakan ke arah lautan di timur, beberapa akan menyusuri sungai itu menuju rawa-rawa di dalam hutan ke arah baratnya. Pantulan cahaya dari sungai membuat suasana terlihat lebih tropis. Begitu pula hutan di belakangnya memberi kombinasi biru dan hijau ke dalam siang yang terik ini.

Beberapa penjaga kota dengan pedang di pinggang mereka berbaur dengan warga setempat, mengobrol dan tertawa. beberapa pria sedang bekerja keras membenarkan sebuah perahu yang berlubang, memotong, memanggul dan memalu papan kayu dengan cekatan, keringat di jidat mereka. Beberapa turis kaya berbaju dari sutera dengan kipas dan gaun mewah berjalan keluar dari salah satu perahu besar, sepertinya dari negeri lain. Pria-pria besar berkeringat di bawah terik matahari memanggul karung-karung penuh hasil perkebunan atau papan kayu, memuatnya ke atas perahu. Berbagai ras bercampur dan berkeringat dalam kebersamaan.

Keringat Elf.

Keringat Dwarf.

Keringat Manusia.

Keringat Nokturna.

Keringat orang asing di mana-mana.

Bagian pelabuhan lumayan penuh oleh pekerja dan pelaut, bau laut dan bau anyir badan yang terjebak di laut berhari-hari beterbangan di segala arah. Trig hanya bisa menahan napasnya selama mungkin.

Trig tidak pernah gembira di hari belanja. Karena biasanya dia selalu menghindari keramaian, terutama ketika semua orang dimasak oleh matahari dan semua orang saling membarter satu sama lain. Artinya kontak fisik yang tidak dibutuhkan. Trig juga selalu menyuruh staf dapur untuk sekaligus membelikan kebutuhannya. Mereka lebih sering pergi keluar dari kastel, membeli bahan makanan dan melakukan semua hal yang menyangkut sentuh menyentuh.

Sambil menyelip ke dalam lalu lintas dengan canggung, tidak sedikit orang yang memasang mata mereka ke arahnya. Kebanyakan orang tua pensiunan, anak-anak akan berhenti berlari dan menonton, para pekerja juga menaikkan alis mereka.

Kuku berwarna, celana ketat, baju dengan bantalan bahu dan rompi berwarna biru cerah, jubah warna biru. Itulah yang dia gunakan di hari itu. Bajunya hari ini bahkan bukan gaya kesukaannya. Beberapa melihat pria ini aneh, memberi tatapan yang merendahkan, beberapa mungkin akan berbisik-bisik. Namun dia tahu mereka hanya iri. Iri pada ekspresinya. Iri pada kebebasannya, menginginkan glamornya.

Di sepanjang pelabuhan Trig tidak melihat toko yang dia incar. Hanya toko perkakas, gudang, bar untuk pelaut dan restoran makanan laut. Seharusnya dia tahu itu dari awal. Agak kesal karena tidak menemukan apa pun Trig mulai bertanya kepada orang lokal yang melihatnya dengan tatapan aneh dari tadi. Dua pria tua berkulit gelap yang duduk menghadap ke sungai sambil menyemil potongan buah menjadi pilihannya. Ras manusia. Salah satu tidak memiliki rambut, satunya lagi sudah beruban. Berarti mereka berdua di kisaran umur yang sama. Sepertinya lansia veteran yang sedang bersantai.

The ParleviloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang