01. Why

27 9 35
                                    

Sudah tiga hari, kira-kira itu yang ia ingat. Jujur saja, cowok itu gelisah memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Meskipun ia sudah memikirkan kemungkinan itu. Entah mengapa ... firasatnya menyatakan bahwa hal itu benar-benar terjadi.

Haekal kembali memegang ponselnya, ia berniat menghubungi seseorang. Namun, baru saja ia memegangnya, cowok itu melempar ponselnya lalu mengusap rambutnya. "Ck! Gue harus gimana?! Anjir banget!"

Haekal berdiri, meraih jaketnya beserta dompetnya yang ada di meja belajar. Cowok itu berjalan menuju pintu kamar, ia membukanya berlanjut berjalan ke arah tangga. "Ma, aku berang—si anjir, kan mama nggak ada di rumah. Pikun," katanya lalu berdecak.

Ia kembali berlari menuju pintu utama, tidak peduli bahwa hari sudah lewat dari isya. Haekal ... khawatir, tetapi ia ingat pesan terakhir.

Cla
|Jangan hubungin duluan
|Biar nanti dikasih kabar

Haekal berdecak, ia menatap ponselnya. "Hubungin? Jangan? Hubung—aelah, gue chat aja."

Haekal
Udah makan?|
Aku bawain makanan|
Kamu udah makan?|

Ceklis satu, membuat Haekal ketar-ketir sampai ingin menghubungi ketua RT. Oke, berlebihan.

Haekal tidak peduli, ia telanjur khawatir, semoga saja, apa yang dibayangkannya tidak terjadi.

"Cla?! Di dalem, kan? Cla, please buka pintunya, udah tiga hari Cla, Clara ...." Haekal mengetuk-ngetuk pintu rumah Clara, cowok itu tidak peduli jika membuat keributan di sekitar perumahan Clara. "Clara! Lo di dalem, kan? Buka pintunya!"

"Jang?"

Haekal berhenti mengetuk pintu Clara, ia menoleh dan mendapati seorang ibu paruh baya beserta daster bunga-bunga. "Maaf, Bu. Saya buat keributan malam-malam."

"Nggak papa. Cari yang punya rumah, ya?"

Haekal mengangguk. "Clara ke mana, Bu?"

"Setengah jam yang lalu, neng Clara pergi. Ibu juga nggak tau ke mana."

Haekal melotot, cowok itu berdecak, lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih. Ia merogoh ponselnya sambil menelepon nomor whatsapp maupun nomor pribadi Clara. Namun, yang didapat hanya mode memanggil dan panggilan tidak dijawab.

"Edan, kenapa gue ke sini naik gojek?! Fungsinya gue punya motor buat apa?!" meskipun menggerutu, Haekal memesan gojek. Ia harus mengambil motornya untuk mencari Clara, Haekal takut Clara melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan seseorang saat sedang putus asa.

Setelah lima menit—untung saja tidak menanti lama—Haekal mendapatkan gojeknya. Cowok itu duduk di boncengan masih dengan gerutuan dan makian karena mamang gojeknya yang mendadak lambat.

"Pak, cepetan dong! Entar saya kasih lebih, cepetan, Pak. Atau saya yang nyetir?!" Haekal gemas, ingin pindah segera ke bangku kemudi.

Mamang gojek hanya berdecak, membiarkan Haekal memaki sesuka hati.

"Udah-udah, di sini aja!" Haekal turun di jarak sekitar 15 meter dari rumahnya. Cowok itu merogoh saku bajunya. Mengambil uang warna merah muda. "Kembaliannya ambil, lain kali, kalo nyetir yang cepet, kalo penumpang ngajak bicara, diladenin."

Haikal berlalu sambil berlari, ia melotot sambil memelankan lajunya saat melihat seseorang berjongkok membenamkan wajahnya dilipatan tangan yang diletakan di atas lutut.

Hai Cla: Gap Year | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang