Dream

887 154 51
                                    

Jika sikap Mami yang bertindak tanpa bilang-bilang lebih dulu membuatku berang, sifat impulsifku yang bertindak dan berbicara tanpa pikir panjang membuatku kesal setengah mati. Sadarnya tentu saja belakangan.

Begitu menginjakkan kaki di rumah, barulah si sesal itu membombardir pikiran. Kenapa kuterima Mas Alendra begitu saja? Jangankan cinta, suka dalam artian romantis terhadapnya pun masih kuragukan.

Lalu dari sisi Mas Alendra, apa yang dia lihat dariku? Sejak kapan naksir aku? Dan yang terpenting, kenapa aku?

Bukan berarti aku meragukan kapasitas diri sendiri. Tapi, ayolah. Pacar pertama mencampakkanku karena aku kalah cantik dibanding primadona sekolah. Dan saat orang tuaku jatuh miskin, pacar kedua membuangku seperti sampah.

Bohong besar kalau aku terlihat menarik di mata Mas Alendra. Penampilanku terlalu apa adanya. Dan orang tuanya yang notabene berasal dari kalangan high society pastinya mengharapkan seseorang yang setara. Well, memang belum tentu dia akan memperkenalkan diriku kepada keluarganya. Tapi intinya, benar-benar enggak masuk akal seorang Alendra Marthadinata memilihku jadi pacarnya.

Aku juga curiga, jangan-jangan keputusanku menerima Mas Alendra sama enggak masuk akalnya: hanya karena disilaukan oleh kesempatan untuk menaiki Alfa. Terlalu naif dan impulsif sekali kalau memang benar begitu, 'kan?

Duh! Kenapa jadi enggak bisa memastikan perasaanku sendiri begini, sih?

"Farra, itu tadi kamu diantar siapa?" Mami tiba-tiba masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu.

Kuhela napas kasar lalu berdiri dari tempat tidur. Kantong belanjaanku tergeletak begitu saja di meja tulis. Aku beranjak ke sana, mulai membongkar-bongkar isinya.

"Teman kantor, Mi." Mami akan heboh kalau aku bilang diantar atasan sekaligus pacar baru. Ya ampun, menyebut Mas Alendra sebagai pacar terasa janggal sekali, membuatku meringis.

"Mami lihat mobilnya mirip Alfa, deh?"

Pertanyaan Mami membuatku mendadak teringat sesuatu. Kubalikkan tubuh lalu menatap wajah Mami lekat-lekat. "Mami jual Alfa ke orang yang nama belakangnya Marthadinata, 'kan?"

Jelas sekali Mami kelihatan terkejut, tapi beliau memilih berbohong, "Bukan, ah."

Kusipitkan mata sambil terus menatap Mami. Beliau enggak punya bakat berbohong. Bibirnya menipis dan mata mengerjap-ngerjap cepat, tanda sebentar lagi Mami akan menyerah.

"Kok kamu bisa tau, sih?"

Betul, 'kan?

Mami terduduk lunglai di pinggiran tempat tidurku. "Tante Hanna yang kasih tau ke kamu, ya?"

"Ooh, jadi makelarnya Tante Hanna?" Kuangguk-anggukkan kepala.

Mami terlihat panik. "Bukan gituuu. Mami nggak ada niat jualin Alfa kok, Sayang. Ceritanya tuh gini. Tante Hanna pernah bilang, ponakan suaminya lagi nyari-nyari mobil klasik. Trus Mami iseng aja kirimin foto Alfa ke dia. Eh, tau-tau besoknya dia bilang ponakan suaminya pengin beli. Ya udah, daripada Alfa jadi rongsokan, mending dijadiin duit. Mami juga nggak nyangka dia bakal kasih harga setinggi itu. Mami pikir, ah paling cuma laku lima puluh juta."

Batinku tertawa terbahak-bahak. Kalau masih hidup, Eyang Kakung dan Papi pasti akan menertawakan Mami juga. Lima puluh juta paling-paling cuma dapat spionnya. Mami memang sebuta itu soal mobil klasik.

"Nama ponakan Tante Hanna itu pasti Daryl Marthadinata." Tak sia-sia aku menguping pembicaraan Mas Alendra dan Mas Abeng di parkiran.

Wajah Mami memucat, matanya membelalak seperti melihat hantu. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada. "Aduh, Farraaa! Jangan bilang kalo kamu mau temuin dia buat minta balikin Alfa. Jangan ya, Nak. Pliiis, Mami bisa malu tujuh turunan!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Proofreading for Love      Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang